PROMISE TO BELIEVE

^ WELCOME ^

Rabu, 05 Januari 2011

LIONTIN

Di suatu kota yang ramai penuh dengan orang yang sibuk dengan diri mereka masing-masing, seorang gadis juga tengah sibuk berlari agar tidak terlambat mendapat bus yang menuju sekolahnya. Ia terus berlari dan berlari tanpa mempedulikan angin yang menghantam wajahnya dan membuat rambutnya menjadi berantakan. Tiba-tiba, ketika ia sedang asyik-asyiknya berlari, tepat tujuh meter di depannya seorang laki-laki sedang berjalan dengan santai. Sang gadis sudah memperingatkan akan orang itu tidak menghalangi jalannya. Tapi percuma, orang itu tidak berpindah ke sisi kiri atau kanan. Ia seperti tidak mendengarkan teriakan maut raksasa yang akan lewat.

Tau bahwa dia tak berkutik, si gadis mencoba untuk berhenti berlari. Namun terlambat, karena sedari tadi ia berlari sangat cepat, peluangnya untuk berhenti pun sangat kecil. Alhasil, ia tetap saja menubruk lelaki itu dan mereka pun jatuh bersamaan dengan keadaan yang sangat memalukan. Orang-orang di sekeliling mereka memandang mereka dengan aneh. Namun sedetik kemudian mereka telah sibuk sendiri dengan aktivitas masing-masing. Tinggal si gadis dan lelaki itu yang saling berpandangan.

Si gadis bangkit dan mengusap sikunya yang terasa perih. Ia segera tersadar bahwa lengan bajunya sobek tergores aspal. Namun ia lebih menyadari jam di tangan kanannya. Waktu yang sangat mepet untuk mendapatkan bus. Ia pun segera membenahi seragamnya dan berlari tanpa memedulikan laki-laki itu walaupun ia sempat memandang sekilas kearahnya sebelum ia pergi.

“Viola Nikita...,” gumam laki-laki itu sembari memandang si gadis yang semakin menjauh dan akhirnya hilang dari pandangannya.

***

Viola datang tepat waktu untuk yang pertama kalinya. Untung saja ia tadi tidak buang-buang waktu sehingga perjuangannya pun tidak sia-sia. Saat ia sampai di pintu kelas, hal pertama yang ia lihat dari anak lain adalah pandangan aneh mereka. Bagaimana bisa mereka memandang seperti itu? Seharusnya mereka senang karena salah satu penghuni kelas mereka bisa mengubah kebiasaannya. Dengan dongkol Viola meletakkan tasnya di bangku.

“Vi,” panggil Chika yang ada di sampingnya.

“Kenapa?”

Chika menunjuk siku kanan Viola. “Itu tangan lo kenapa? Kok lengan bajunya sampai sobek gitu? Merah lagi. Itu cat atau darah, Vi?” Chika meringis membayangkan kalau itu darah. Pasti perih sekali rasanya. Pasti tidak hanya lengan baju yang sobek, tapi juga kulit Viola.

Viola melirik sejenak lalu ia terkejut melihat lengan bajunya yang mengerikan. Pantas saja teman-temannya memandang aneh. Ternyata karena itu. “Waduh, gimana nih? Gue nggak bawa dua seragam. Gimana dong?” Viola meminta solusi pada sahabatnya itu.

“Lo ke UKS aja. Obatin dulu luka lo. Itu luka, kan?” Chika bertanya untuk memastikan dan dijawab dengan anggukan oleh Viola. “Nah, nanti lo bilang ke guru yang jaga. Minta solusi gitu.”

“Oke deh.” Viola bangkit tanpa berterima kasih ataupun pamit terlebih dahulu pada Chika. Kebiasaan buruk seorang Viola adalah tidak pernah meminta maaf kalau ia tidak merasa bersalah walaupun jelas-jelas dia bersalah dan tak mau berterima kasih ketika itu dirasa tak perlu. Karena Chika telah cukup lama mengenal Viola dan mengetahui segala sesuatu tentang gadis itu, ia bersikap biasa. Tapi untuk orang-orang yang belum mengenal Viola, pastilah mereka akan mencak-mencak ketika kebiasaan buruk Viola muncul.

Sesampainya di UKS, Viola segera mencari guru yang sedang jaga. Tepat saat itu bel berbunyi, namun ia tak akan kembali ke kelas sebelum semua beres. Sekalian bolos pelajaran pertama sih kalau bisa. Hehehe...

“Permisi, Bu. Saya mau ngobatin luka ini,” kata Viola sambil memperlihatkan sikunya.

Ibu Mika mengangguk dan mempesilakan Viola duduk. Ia mengambil kotak obat-obatan. “Kenapa itu tanganmu, Vio?”

“Tadi jatuh waktu buru-buru di jalan, Bu. Tapi anehnya kok saya daritadi nggak ngerasa sakit ya, Bu? Malah saya baru sadar waktu temen saya ngasih tau. Kalau dia nggak bilang, mugkin saya juga nggak tau.”

“Mungkin karena kamu konsentrasi biar kamu nggak telat,” sindir Bu Mika sambil membersihkan luka Viola dengan air hangat. Disindir seperti itu, bukannya Viola bungkam ia justru malah bercerita panjang lebar tentang perjuangannya tadi pagi sehingga luka ini bisa terbentuk. Ibu Mika pun mendengarkannya dengan saksama dan sesekali tersenyum geli.

***

“Tadi pagi itu gue jatuh dimana ya? Oh! Kayaknya di depan kafe itu deh,” tanya dan jawab Viola pada dirinya sendiri. “Wah, mampir ah. Kenapa gue baru sadar ada kafe itu ya? Jatuh gue membawa berkah nih ternyata!”

Ketika ia akan masuk ke dalam kafe, ia melihat laki-laki yang ia tabrak tadi sedang keluar dari kafe. Laki-laki itu masih mengenakan jaket berwarna abu-abu. Tiba-tiba Viola melihat sesuatu jatuh dari saku celananya. Viola segera mengambil sesuatu itu. Ternyata papan nama si laki-laki.

“Givio Andra? Sama-sama ada ‘Vio’-nya. Hmm..,” gumam Viola. “Givio Andra,” seru Viola. Si pemilik nama tiba-tiba menoleh dan mengerutkan kening. Ia melihat Viola yang memandang kearahnya. Tak lama kemudian, Givio menghampiri Viola.

“Papan nama lo jatuh. Daripada besok lo nggak bisa ke sekolah mending gue kasih deh,” ujar Viola sembari mengembalikan papan nama itu. “Kenalin, nama gue-”

“Viola Nikita, kan?” putus Givio. “Lo yang tadi pagi nabrak gue, kan? Gue nggak bakal lupa kejadian ketika seorang cewek nabrak gue dan ngebuat pelipis gue luka dan pergi begitu aja setelah ngelakuin itu semua tanpa minta maaf.”

Viola meringis. “Tadi pagi gue buru-buru banget. Sebagai gantinya, gue minta maaf sekarang sambil gue traktir gimana? Sambil ngobrol bareng. Oke? Sip!” Viola segera menarik lengan Givio sebelum laki-laki itu menjawab. Mereka pun masuk ke dalam kafe seperti dua orang yang sudah saling mengenal.

***

Sejak pertemuan itu, Givio dan Viola sangat dekat. Hampir setiap hari mereka pergi ke kafe –yang harga makanan dan minumannya sangat terjangkau– itu. Mereka tak pernah kekurangan bahan obrolan. Ada saja yang mereka bicarakan. Sampai suatu hari, ketika Viola janji untuk menemui Givio di kafe, ia tak menemukan sosok Givio di sana. Setelah satu jam menunggu, Viola memutuskan untuk pulang. Namun, ketika gadis itu melewati meja kasir, seseorang yang menjaga kasir memanggil namanya. Seketika itu Viola menoleh dan mengerutkan kening.

“Maaf, ada apa? Saya tidak memesan apa-apa kok,” ujar Viola pada penjaga kasir bernama Romeo. Wih, cakep banget namanya! Tapi nggak buat orang cungkring kayak yang sekarang di hadapan Viola.

Romeo tersenyum, “Ini, ada titipan dari Mas Givio. Tau, kan? Yang pemilik kafe ini, yang suka dateng bareng mbak Viola.” Romeo mengangsurkan bingkisan dan surat kepada Viola.

“Ehm, makasih.” Viola segera berjalan keluar dan membuka isi surat yang diberikan Givio. Tapi ia teringat akan perkataan Romeo tadi. “Pemilik kafe ini? Givio yang punya kafe ini?” gumam Viola. Viola menggeleng tak percaya.

Viola membuka surat itu dan melihat tulisan tangan yang cukup asing di matanya.

Hai, Vio...

Kamu sekarang pasti lagi baca, kan? Maaf ya aku nggak bisa dateng ke kafe. Aku harus menemani ibuku berobat di luar selama setahun, untung aku belum daftar kuliah jadi nggak bakal keteteran.

Vi, mungkin menurutmu pertemuan kita sama sekali nggak berarti. Tapi bagiku, itu sangat berarti. Sejak pertama kita ketemu dalam keadaan yang ‘nggak banget’ aku udah ngeliat sisi dari kamu yang aku suka. Entah yang mana. Tapi aku bisa ngerasain ada yang istimewa dari kamu.

Vi, ternyata aku sayang sama kamu. Coba buka bingkisan yang aku kasih. Kalau kamu juga sayang sama aku, tolong jaga hati kamu untuk aku dan jaga benda itu agar tetap ada saat kita ketemu lagi. Tapi kalau nggak, kamu boleh diemin benda itu dan biarkan hatimu bebas.

Givio A.

***

Setahun kemudian...

Seorang gadis berlari menembus keramaian di sekitarnya. Ia berlari pontang-panting sehingga membuat rambut panjangnya terbang sesuai keinginan mereka. Gadis itu sudah bertambah dewasa. Ya, dia Viola. Kali ini ia sedang akan mengikuti tes untuk perguruan tinggi. Seperti biasa, ketika ia merasa bahwa dirinya terlambat maka ia tak akan peduli dengan keadaan sekitar.

Tiba-tiba tak jauh di depannya seseorang sedang berjalan dengan santai. Viola sudah mencoba untuk menghentikan lajunya namun justru ia menabrak seseorang di depannya dengan telak. Ajaibnya, ia tidak merasa kesakitan karena terbentur lantai. Viola membuka mata dan segera meminta maaf pada orang yang ditabraknya.

“Maaf, maaf...” Viola sambil membungkuk saat mengatakannya. Ketika Viola mengenali siapa yang di hadapannya, Viola merubah mimik wajahnya menjadi terkejut. “Gi..vio?”

Orang yang ternyata memang Givio itu mengangguk dengan segera. “Halo, aku baru aja mau ke SMA kamu dulu. Ternyata kamu nggak berubah ya. Tetep aja lari-lari nggak jelas. Makanya, kalau nggak mau telat itu bangunnya harus awal. Kalau udah gini kan nyusahin orang. Untung kamu nggak jatuh kayak dulu lagi!”

“Kok ngomongnya jadi aku-kamu sih? Berasa aneh deh. Lo tuh baru pulang udah ngomel nggak jelas! Bikin bete aja. Traktir-traktir ngapa. Kan lebih bermanfaat bisa ngenyangin perut,” desis Viola.

“Jangan ngambek dong! Gitu aja ngambek. Iya deh, nanti aku traktir. Eh, gimana, Vi? Kalung liontinnya dipake atau nggak? Aku udah siap mental buat tau nih.”

Viola melirik jam tangannya. “Hmm... kan masih 2 jam lagi nih gue tesnya, traktir sekarang aja deh. Gue lapeeerr,” rengek Viola, “nanti gue kasih liat deh ada di leher gue apa nggak.” Tanpa mendapat persetujuan Givio, gadis itu memasuki kafe yang ada di sampingnya yang tak lain tak bukan adalah kafe milik Givio.

Givio menahan lengan Viola. “Janji ya? Nanti aku anter deh ke tempat tesnya. Tau nggak? Aku beneran berharap jawaban yang menyenangkan lho!” Givio mengacak-acak rambut Viola dan merangkulnya masuk ke kafe.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 05 Januari 2011

LIONTIN

Di suatu kota yang ramai penuh dengan orang yang sibuk dengan diri mereka masing-masing, seorang gadis juga tengah sibuk berlari agar tidak terlambat mendapat bus yang menuju sekolahnya. Ia terus berlari dan berlari tanpa mempedulikan angin yang menghantam wajahnya dan membuat rambutnya menjadi berantakan. Tiba-tiba, ketika ia sedang asyik-asyiknya berlari, tepat tujuh meter di depannya seorang laki-laki sedang berjalan dengan santai. Sang gadis sudah memperingatkan akan orang itu tidak menghalangi jalannya. Tapi percuma, orang itu tidak berpindah ke sisi kiri atau kanan. Ia seperti tidak mendengarkan teriakan maut raksasa yang akan lewat.

Tau bahwa dia tak berkutik, si gadis mencoba untuk berhenti berlari. Namun terlambat, karena sedari tadi ia berlari sangat cepat, peluangnya untuk berhenti pun sangat kecil. Alhasil, ia tetap saja menubruk lelaki itu dan mereka pun jatuh bersamaan dengan keadaan yang sangat memalukan. Orang-orang di sekeliling mereka memandang mereka dengan aneh. Namun sedetik kemudian mereka telah sibuk sendiri dengan aktivitas masing-masing. Tinggal si gadis dan lelaki itu yang saling berpandangan.

Si gadis bangkit dan mengusap sikunya yang terasa perih. Ia segera tersadar bahwa lengan bajunya sobek tergores aspal. Namun ia lebih menyadari jam di tangan kanannya. Waktu yang sangat mepet untuk mendapatkan bus. Ia pun segera membenahi seragamnya dan berlari tanpa memedulikan laki-laki itu walaupun ia sempat memandang sekilas kearahnya sebelum ia pergi.

“Viola Nikita...,” gumam laki-laki itu sembari memandang si gadis yang semakin menjauh dan akhirnya hilang dari pandangannya.

***

Viola datang tepat waktu untuk yang pertama kalinya. Untung saja ia tadi tidak buang-buang waktu sehingga perjuangannya pun tidak sia-sia. Saat ia sampai di pintu kelas, hal pertama yang ia lihat dari anak lain adalah pandangan aneh mereka. Bagaimana bisa mereka memandang seperti itu? Seharusnya mereka senang karena salah satu penghuni kelas mereka bisa mengubah kebiasaannya. Dengan dongkol Viola meletakkan tasnya di bangku.

“Vi,” panggil Chika yang ada di sampingnya.

“Kenapa?”

Chika menunjuk siku kanan Viola. “Itu tangan lo kenapa? Kok lengan bajunya sampai sobek gitu? Merah lagi. Itu cat atau darah, Vi?” Chika meringis membayangkan kalau itu darah. Pasti perih sekali rasanya. Pasti tidak hanya lengan baju yang sobek, tapi juga kulit Viola.

Viola melirik sejenak lalu ia terkejut melihat lengan bajunya yang mengerikan. Pantas saja teman-temannya memandang aneh. Ternyata karena itu. “Waduh, gimana nih? Gue nggak bawa dua seragam. Gimana dong?” Viola meminta solusi pada sahabatnya itu.

“Lo ke UKS aja. Obatin dulu luka lo. Itu luka, kan?” Chika bertanya untuk memastikan dan dijawab dengan anggukan oleh Viola. “Nah, nanti lo bilang ke guru yang jaga. Minta solusi gitu.”

“Oke deh.” Viola bangkit tanpa berterima kasih ataupun pamit terlebih dahulu pada Chika. Kebiasaan buruk seorang Viola adalah tidak pernah meminta maaf kalau ia tidak merasa bersalah walaupun jelas-jelas dia bersalah dan tak mau berterima kasih ketika itu dirasa tak perlu. Karena Chika telah cukup lama mengenal Viola dan mengetahui segala sesuatu tentang gadis itu, ia bersikap biasa. Tapi untuk orang-orang yang belum mengenal Viola, pastilah mereka akan mencak-mencak ketika kebiasaan buruk Viola muncul.

Sesampainya di UKS, Viola segera mencari guru yang sedang jaga. Tepat saat itu bel berbunyi, namun ia tak akan kembali ke kelas sebelum semua beres. Sekalian bolos pelajaran pertama sih kalau bisa. Hehehe...

“Permisi, Bu. Saya mau ngobatin luka ini,” kata Viola sambil memperlihatkan sikunya.

Ibu Mika mengangguk dan mempesilakan Viola duduk. Ia mengambil kotak obat-obatan. “Kenapa itu tanganmu, Vio?”

“Tadi jatuh waktu buru-buru di jalan, Bu. Tapi anehnya kok saya daritadi nggak ngerasa sakit ya, Bu? Malah saya baru sadar waktu temen saya ngasih tau. Kalau dia nggak bilang, mugkin saya juga nggak tau.”

“Mungkin karena kamu konsentrasi biar kamu nggak telat,” sindir Bu Mika sambil membersihkan luka Viola dengan air hangat. Disindir seperti itu, bukannya Viola bungkam ia justru malah bercerita panjang lebar tentang perjuangannya tadi pagi sehingga luka ini bisa terbentuk. Ibu Mika pun mendengarkannya dengan saksama dan sesekali tersenyum geli.

***

“Tadi pagi itu gue jatuh dimana ya? Oh! Kayaknya di depan kafe itu deh,” tanya dan jawab Viola pada dirinya sendiri. “Wah, mampir ah. Kenapa gue baru sadar ada kafe itu ya? Jatuh gue membawa berkah nih ternyata!”

Ketika ia akan masuk ke dalam kafe, ia melihat laki-laki yang ia tabrak tadi sedang keluar dari kafe. Laki-laki itu masih mengenakan jaket berwarna abu-abu. Tiba-tiba Viola melihat sesuatu jatuh dari saku celananya. Viola segera mengambil sesuatu itu. Ternyata papan nama si laki-laki.

“Givio Andra? Sama-sama ada ‘Vio’-nya. Hmm..,” gumam Viola. “Givio Andra,” seru Viola. Si pemilik nama tiba-tiba menoleh dan mengerutkan kening. Ia melihat Viola yang memandang kearahnya. Tak lama kemudian, Givio menghampiri Viola.

“Papan nama lo jatuh. Daripada besok lo nggak bisa ke sekolah mending gue kasih deh,” ujar Viola sembari mengembalikan papan nama itu. “Kenalin, nama gue-”

“Viola Nikita, kan?” putus Givio. “Lo yang tadi pagi nabrak gue, kan? Gue nggak bakal lupa kejadian ketika seorang cewek nabrak gue dan ngebuat pelipis gue luka dan pergi begitu aja setelah ngelakuin itu semua tanpa minta maaf.”

Viola meringis. “Tadi pagi gue buru-buru banget. Sebagai gantinya, gue minta maaf sekarang sambil gue traktir gimana? Sambil ngobrol bareng. Oke? Sip!” Viola segera menarik lengan Givio sebelum laki-laki itu menjawab. Mereka pun masuk ke dalam kafe seperti dua orang yang sudah saling mengenal.

***

Sejak pertemuan itu, Givio dan Viola sangat dekat. Hampir setiap hari mereka pergi ke kafe –yang harga makanan dan minumannya sangat terjangkau– itu. Mereka tak pernah kekurangan bahan obrolan. Ada saja yang mereka bicarakan. Sampai suatu hari, ketika Viola janji untuk menemui Givio di kafe, ia tak menemukan sosok Givio di sana. Setelah satu jam menunggu, Viola memutuskan untuk pulang. Namun, ketika gadis itu melewati meja kasir, seseorang yang menjaga kasir memanggil namanya. Seketika itu Viola menoleh dan mengerutkan kening.

“Maaf, ada apa? Saya tidak memesan apa-apa kok,” ujar Viola pada penjaga kasir bernama Romeo. Wih, cakep banget namanya! Tapi nggak buat orang cungkring kayak yang sekarang di hadapan Viola.

Romeo tersenyum, “Ini, ada titipan dari Mas Givio. Tau, kan? Yang pemilik kafe ini, yang suka dateng bareng mbak Viola.” Romeo mengangsurkan bingkisan dan surat kepada Viola.

“Ehm, makasih.” Viola segera berjalan keluar dan membuka isi surat yang diberikan Givio. Tapi ia teringat akan perkataan Romeo tadi. “Pemilik kafe ini? Givio yang punya kafe ini?” gumam Viola. Viola menggeleng tak percaya.

Viola membuka surat itu dan melihat tulisan tangan yang cukup asing di matanya.

Hai, Vio...

Kamu sekarang pasti lagi baca, kan? Maaf ya aku nggak bisa dateng ke kafe. Aku harus menemani ibuku berobat di luar selama setahun, untung aku belum daftar kuliah jadi nggak bakal keteteran.

Vi, mungkin menurutmu pertemuan kita sama sekali nggak berarti. Tapi bagiku, itu sangat berarti. Sejak pertama kita ketemu dalam keadaan yang ‘nggak banget’ aku udah ngeliat sisi dari kamu yang aku suka. Entah yang mana. Tapi aku bisa ngerasain ada yang istimewa dari kamu.

Vi, ternyata aku sayang sama kamu. Coba buka bingkisan yang aku kasih. Kalau kamu juga sayang sama aku, tolong jaga hati kamu untuk aku dan jaga benda itu agar tetap ada saat kita ketemu lagi. Tapi kalau nggak, kamu boleh diemin benda itu dan biarkan hatimu bebas.

Givio A.

***

Setahun kemudian...

Seorang gadis berlari menembus keramaian di sekitarnya. Ia berlari pontang-panting sehingga membuat rambut panjangnya terbang sesuai keinginan mereka. Gadis itu sudah bertambah dewasa. Ya, dia Viola. Kali ini ia sedang akan mengikuti tes untuk perguruan tinggi. Seperti biasa, ketika ia merasa bahwa dirinya terlambat maka ia tak akan peduli dengan keadaan sekitar.

Tiba-tiba tak jauh di depannya seseorang sedang berjalan dengan santai. Viola sudah mencoba untuk menghentikan lajunya namun justru ia menabrak seseorang di depannya dengan telak. Ajaibnya, ia tidak merasa kesakitan karena terbentur lantai. Viola membuka mata dan segera meminta maaf pada orang yang ditabraknya.

“Maaf, maaf...” Viola sambil membungkuk saat mengatakannya. Ketika Viola mengenali siapa yang di hadapannya, Viola merubah mimik wajahnya menjadi terkejut. “Gi..vio?”

Orang yang ternyata memang Givio itu mengangguk dengan segera. “Halo, aku baru aja mau ke SMA kamu dulu. Ternyata kamu nggak berubah ya. Tetep aja lari-lari nggak jelas. Makanya, kalau nggak mau telat itu bangunnya harus awal. Kalau udah gini kan nyusahin orang. Untung kamu nggak jatuh kayak dulu lagi!”

“Kok ngomongnya jadi aku-kamu sih? Berasa aneh deh. Lo tuh baru pulang udah ngomel nggak jelas! Bikin bete aja. Traktir-traktir ngapa. Kan lebih bermanfaat bisa ngenyangin perut,” desis Viola.

“Jangan ngambek dong! Gitu aja ngambek. Iya deh, nanti aku traktir. Eh, gimana, Vi? Kalung liontinnya dipake atau nggak? Aku udah siap mental buat tau nih.”

Viola melirik jam tangannya. “Hmm... kan masih 2 jam lagi nih gue tesnya, traktir sekarang aja deh. Gue lapeeerr,” rengek Viola, “nanti gue kasih liat deh ada di leher gue apa nggak.” Tanpa mendapat persetujuan Givio, gadis itu memasuki kafe yang ada di sampingnya yang tak lain tak bukan adalah kafe milik Givio.

Givio menahan lengan Viola. “Janji ya? Nanti aku anter deh ke tempat tesnya. Tau nggak? Aku beneran berharap jawaban yang menyenangkan lho!” Givio mengacak-acak rambut Viola dan merangkulnya masuk ke kafe.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar