PROMISE TO BELIEVE

^ WELCOME ^

Jumat, 07 Januari 2011

THE WILT FLOWER

Di sudut lapangan sebuah sekolah, tiga cewek sedang terdampar karena kelelahan setelah memutari lapangan tersebut selama lima kali. Mereka adalah Ima, Sasha, dan Via. Ketiga cewek itu telah kenal hampir selama tiga tahun lamanya. Selama itu pulalah sebuah ikatan persahabatan terjalin di antara mereka.

“Haduh, gila! Gue capek banget. Sekarang mana sih guru itu? mending daritadi kita nggak usah keliling kali kalau nggak diawasin gini!” gerutu Ima. Dia memang orang yang suka mengeluh.

“Iya. Kehabisan tenaga nih gue. Mana bisa kita ikut pelajaran olahraga kalau udah lemes duluan ini.” Sasha mengelap peluh yang ada di dahinya. Ia lalu menatap Via yang terlihat tenang.

Ima menatap Sasha, “Elo sih, pake acara suruh nunggu segala. Telat kan gue sama Via jadinya!”

“Yee, kok jadi nylahin gue, sih? Salah sendiri mau.”

Via yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. “Kok malah ribut, sih? tuh liat ada yang ngeliatin kita.” Via menunjuk orang yang dimaksud dengan dagunya. “Kayaknya dia mau nyamperin kita deh.”

Ima dan Sasha mengikuti pandangan Via. Mereka pun beradu pandang dengan sosok tinggi kurus yang akhir-akhir ini sering mengusik Ima. Ima berdecak kesal, “Ck! Mati gue! Ngapain sih Afi pake nongol segala? Bikin mood tambah ancur aja.”

Tak lama kemudian, Afi benar berjalan kearah mereka sambil tersenyum jahil. “Hai. Ima… Kok nggak pelajaran? Anak yang lain mana?” tanya Afi ketika ia menyadari hanya ada tiga cewek itu di lapangan.

“Kok yag disapa Ima doing sih??” goda Sasha yang menyebabkan wajah Ima memerah seketika.

“Kita lagi dihukum. Gara-gara telat. Anak-anak lain udah masuk ke aula,” jelas Via tanpa memandang Afi yang berdiri menjulang di hadapannya. “Udah ya, kita mau ke aula dulu.” Via segera beranjak dari duduknya. Itu memang satu-satunya jalan agar mereka -khususnya Ima- terbebas dari Afi.

Ima dan Sasha segera mengikuti tanpa memandang sedikitpun kearah Afi. Afi hanya tersenyum sinis mendapati perlakuan yang masih sama dengan hari-hari sebelumnya.

***

“Kayaknya lo emang bener-bener kedu jaga jarak sama dia. Kita aja sampai enek ngeliatnya. Hih, untung dah bukan gue.” Sasha memperlihatkan sikap ‘Amit-amit jabang bayi’-nya dengan berlebihan. Kontan Ima dan Via pun tertawa.

Ima menyesap the botolnya. “Nah! Gue ngak cuma enek! Udah mutah dari kemarin tau! Gila aja, dia tu sms nggak penting banget gitu. Cuih dah! Padahal gue kan udah cuek banget gitu, tapi dia kok ngak mundur-mundur, sih!”

“Elo-elo kayak nggak tahu dia aja sih? Ya udah, Ma! Untuk sementara ini lo menghindar aja dari dia. Daripada lo bertindak barbar kan malah berabe nanti,” usul Via. Bersamaan dengan habisnya the botol mereka, bel berbunyi dengan sangat nyaring. Mereka pun kembali ke kelas.

“Ima, tadi lo dicari lho sama Afi. Ada apa sih? tambah ngelunjak tuh anak?” tanya Puput ketika Ima duduk di sampingnya.

“Banget, Put! Gue sampai stress nih!”

Puput menepuk bahu Ima untuk menenangkannya. “Sabar, ya!” Ima membalasnya dengan senyuman.

Pulang sekolah, saat Ima hendak keluar kelas, ia dikejutkan oleh sosok Afi yang sedang berdiri di tengah lapangan sambil menatap anak tangga di sebelah kelas Ima. Ima penasaran, ia pun mencari tahu setelah Afi lenyap dari pandangannya. Ketika Ima hendak melongok kearah tangga, tiba-tiba darisana muncul seoran yang tidak begitu ia kenali, tapi ia pernah melihatnya. Namanya Tias. Tias adalah salah satu dari adik kelasnya.

Ima menatap Tias sejenak. Lalu berpikir adakah sesuatu antara mereka? Kalau ada sih, Ima bakal sueneng banget karena akhirnya dia bakal terbebas dari cowok cungkring itu. Sesaat Ima merasakan ada bagian hatinya merasa tidak rela. Tapi langsung dienyahkannya perasaan itu. Ia segera masuk kembali ke dalam kelas dan mencari Via juga Sasha. Sayangnya Ima tak menemukan mereka di dalam kelas. Alternatif lain, Ima menghampiri Puput yang masih sibuk membereskan bukunya.

“Put, lo tau Tias nggak?” tanya Ima langsung ke tujuan.

Puput berpikir sejenak. Ia lalu mengingat dan memastikan apakah itu Tias yang dimaksud Ima. “Tias… adik kelas, kan? Kayaknya tau, dulu dia satu ekskul ma gue. Kenapa memangnya?”

Ima segera menyeret Puput untuk melihat Tias yang ia maksud. “Yang itu, kan?”

“He’eh.” Puput mengangguk. “Kenapa, sih?” tanyanya. Ia terlihat penasaran.

Ima lalu bercerita dengan singkat apa yang tadi dilihatnya. Puput mengangguk-angguk lalu menarik satu kesimpulan. “Jangan-jangan lo cemburu, ya?” tembak Puput.

Seketika Ima melotot padanya. “Enak aja! Gue nggak suka sama dia,” tandas Ima. ia lalu mengalihkan pembicaraan. “Lo mau keluar, kan? Ikut dong.”

“Oke.”

***

Sudah beberapa hari ini Ima dikejutkan dengan sepinya hape. Padahal kemarin-kemarin, Afi selalu sms dia. Tapi kenapa akhir-akhir ini nggak? Di sekolah pun Afi tak pernah lagi menyapanya seperti dulu. Sebagai gantinya, Afi justru hanya memberi senyuman sinis setiap mereka bertemu. Ada apa sih dengan dia?

“Kenapa sih tuh anak?” keluh Ima pada kedua sahabatnya ketika mereka sedang makan di kantin.

Sasha dan Via geleng-geleng kepala mendengar keluhan Ima. mungkin ini sudah yang ke seribu kalinya mereka mendengar keluhan yang sama.

“Ima, lo tuh aneh deh. Dulu katanya sebel. Eh sekarang nyariin terus. Dasar,” sindir Sasha.

“Lo ngerasa kehilangan ya? Emang sih bukan karena lo suka. Bisa aja karena selama ini selalu ada yang perhatian banget sama lo, tapi tiba-tiba orang itu ngilang entah kemana. Pasti rasanya kehilangan gitu, kan?” Via mencoba untuk menebak apa yang dirasakan sahabatnya.

Dengan lemah Ima mengangguk namun sedetik kemudian ia menggeleng. “Nggak tau deh gue,” ujar Ima pasrah. Terserah kedua sahabatnya akan menafsirkan bagaimana.

“Ssstt, orangnya dateng!” bisik Sasha yang melihat Afi akan lewat di depan mereka.

Afi berlalu begitu saja tanpa memandang mereka bertiga sedikitpun. SEDIKITPUN. Mereka seperti hanya dianggap sebagai debu atau kuman yang jika ditatap akan menimbulkan penyakit parah.

Ima sesaat mematung. Iasangat geram. Dengan nekat, ia menyusul Afi. Sasha hendak menahan namun Ima telah terlanjur emosi.

“Berhenti,” perintah Ima dengan pelan namun tegas. “Lo kenapa, sih?” Afi menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang. Ima menarik lengan Afi.

Afi memandangnya dan segera melepaskan tangannya dari genggaman Ima. “Sori, aku udah punya pacar.”

Sasha dan Via yang mendengar pernyataan itu melongo. Bukan karena makna dari perkataan Afi. Tapi karena antara pertanyaan Ima dan jawaban yang terdengar nggak sinkron. Helo?? Apa hubungannya antara pertanyaan Ima dengan kalimat tadi?

Ima nggak kalah melongo. Namun berbeda dengan kedua sahabatnya. Dia menyampurkan sedikit perasaan kecewa di dalamnya. “Gue nggak peduli apa lo punya pacar atau lo udah duda. Gue cuma tanya kenapa lo sinis banget sama gue?” Ima menatap Afi dengan tajam.

“Tanya aja sama diri kamu.” Afi tersenyum lalu meninggalkan Ima yang terperangah. “Bye.” Afi melambaikan tangan tanpa menoleh.

Ima menahan emosinya dalam hati. Afi, setelah sikapnya yang sangat buruk di mata Ima, sekarang Ima nggak akan pernah membuka hatinya untuk orang itu. Padahal sempat Ima merasakan simpati dengannya. Tapi saat ini, bunga di dalam hati Ima yang hampir tumbuh telah layu sebelum sempat ia pelihara.

Ima bersama kedua sahabatnya menatap kepergian Afi sampai bayangannya hilang di elan dinding.

*end*

Hei, makasih udah baca. Gue minta maaf karena endingnya nggantung dan agak aneh. Walaupun kata guru gue ending terbuka buat cerpen itu nggak begitu baik, tapi biarlah. Gue bener-bener stuck disitu.

Well, jangan bosen ya baca karya gue yang lain. Tapi kalau bosen dan kalian mikir jelek, just close this page!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 07 Januari 2011

THE WILT FLOWER

Di sudut lapangan sebuah sekolah, tiga cewek sedang terdampar karena kelelahan setelah memutari lapangan tersebut selama lima kali. Mereka adalah Ima, Sasha, dan Via. Ketiga cewek itu telah kenal hampir selama tiga tahun lamanya. Selama itu pulalah sebuah ikatan persahabatan terjalin di antara mereka.

“Haduh, gila! Gue capek banget. Sekarang mana sih guru itu? mending daritadi kita nggak usah keliling kali kalau nggak diawasin gini!” gerutu Ima. Dia memang orang yang suka mengeluh.

“Iya. Kehabisan tenaga nih gue. Mana bisa kita ikut pelajaran olahraga kalau udah lemes duluan ini.” Sasha mengelap peluh yang ada di dahinya. Ia lalu menatap Via yang terlihat tenang.

Ima menatap Sasha, “Elo sih, pake acara suruh nunggu segala. Telat kan gue sama Via jadinya!”

“Yee, kok jadi nylahin gue, sih? Salah sendiri mau.”

Via yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. “Kok malah ribut, sih? tuh liat ada yang ngeliatin kita.” Via menunjuk orang yang dimaksud dengan dagunya. “Kayaknya dia mau nyamperin kita deh.”

Ima dan Sasha mengikuti pandangan Via. Mereka pun beradu pandang dengan sosok tinggi kurus yang akhir-akhir ini sering mengusik Ima. Ima berdecak kesal, “Ck! Mati gue! Ngapain sih Afi pake nongol segala? Bikin mood tambah ancur aja.”

Tak lama kemudian, Afi benar berjalan kearah mereka sambil tersenyum jahil. “Hai. Ima… Kok nggak pelajaran? Anak yang lain mana?” tanya Afi ketika ia menyadari hanya ada tiga cewek itu di lapangan.

“Kok yag disapa Ima doing sih??” goda Sasha yang menyebabkan wajah Ima memerah seketika.

“Kita lagi dihukum. Gara-gara telat. Anak-anak lain udah masuk ke aula,” jelas Via tanpa memandang Afi yang berdiri menjulang di hadapannya. “Udah ya, kita mau ke aula dulu.” Via segera beranjak dari duduknya. Itu memang satu-satunya jalan agar mereka -khususnya Ima- terbebas dari Afi.

Ima dan Sasha segera mengikuti tanpa memandang sedikitpun kearah Afi. Afi hanya tersenyum sinis mendapati perlakuan yang masih sama dengan hari-hari sebelumnya.

***

“Kayaknya lo emang bener-bener kedu jaga jarak sama dia. Kita aja sampai enek ngeliatnya. Hih, untung dah bukan gue.” Sasha memperlihatkan sikap ‘Amit-amit jabang bayi’-nya dengan berlebihan. Kontan Ima dan Via pun tertawa.

Ima menyesap the botolnya. “Nah! Gue ngak cuma enek! Udah mutah dari kemarin tau! Gila aja, dia tu sms nggak penting banget gitu. Cuih dah! Padahal gue kan udah cuek banget gitu, tapi dia kok ngak mundur-mundur, sih!”

“Elo-elo kayak nggak tahu dia aja sih? Ya udah, Ma! Untuk sementara ini lo menghindar aja dari dia. Daripada lo bertindak barbar kan malah berabe nanti,” usul Via. Bersamaan dengan habisnya the botol mereka, bel berbunyi dengan sangat nyaring. Mereka pun kembali ke kelas.

“Ima, tadi lo dicari lho sama Afi. Ada apa sih? tambah ngelunjak tuh anak?” tanya Puput ketika Ima duduk di sampingnya.

“Banget, Put! Gue sampai stress nih!”

Puput menepuk bahu Ima untuk menenangkannya. “Sabar, ya!” Ima membalasnya dengan senyuman.

Pulang sekolah, saat Ima hendak keluar kelas, ia dikejutkan oleh sosok Afi yang sedang berdiri di tengah lapangan sambil menatap anak tangga di sebelah kelas Ima. Ima penasaran, ia pun mencari tahu setelah Afi lenyap dari pandangannya. Ketika Ima hendak melongok kearah tangga, tiba-tiba darisana muncul seoran yang tidak begitu ia kenali, tapi ia pernah melihatnya. Namanya Tias. Tias adalah salah satu dari adik kelasnya.

Ima menatap Tias sejenak. Lalu berpikir adakah sesuatu antara mereka? Kalau ada sih, Ima bakal sueneng banget karena akhirnya dia bakal terbebas dari cowok cungkring itu. Sesaat Ima merasakan ada bagian hatinya merasa tidak rela. Tapi langsung dienyahkannya perasaan itu. Ia segera masuk kembali ke dalam kelas dan mencari Via juga Sasha. Sayangnya Ima tak menemukan mereka di dalam kelas. Alternatif lain, Ima menghampiri Puput yang masih sibuk membereskan bukunya.

“Put, lo tau Tias nggak?” tanya Ima langsung ke tujuan.

Puput berpikir sejenak. Ia lalu mengingat dan memastikan apakah itu Tias yang dimaksud Ima. “Tias… adik kelas, kan? Kayaknya tau, dulu dia satu ekskul ma gue. Kenapa memangnya?”

Ima segera menyeret Puput untuk melihat Tias yang ia maksud. “Yang itu, kan?”

“He’eh.” Puput mengangguk. “Kenapa, sih?” tanyanya. Ia terlihat penasaran.

Ima lalu bercerita dengan singkat apa yang tadi dilihatnya. Puput mengangguk-angguk lalu menarik satu kesimpulan. “Jangan-jangan lo cemburu, ya?” tembak Puput.

Seketika Ima melotot padanya. “Enak aja! Gue nggak suka sama dia,” tandas Ima. ia lalu mengalihkan pembicaraan. “Lo mau keluar, kan? Ikut dong.”

“Oke.”

***

Sudah beberapa hari ini Ima dikejutkan dengan sepinya hape. Padahal kemarin-kemarin, Afi selalu sms dia. Tapi kenapa akhir-akhir ini nggak? Di sekolah pun Afi tak pernah lagi menyapanya seperti dulu. Sebagai gantinya, Afi justru hanya memberi senyuman sinis setiap mereka bertemu. Ada apa sih dengan dia?

“Kenapa sih tuh anak?” keluh Ima pada kedua sahabatnya ketika mereka sedang makan di kantin.

Sasha dan Via geleng-geleng kepala mendengar keluhan Ima. mungkin ini sudah yang ke seribu kalinya mereka mendengar keluhan yang sama.

“Ima, lo tuh aneh deh. Dulu katanya sebel. Eh sekarang nyariin terus. Dasar,” sindir Sasha.

“Lo ngerasa kehilangan ya? Emang sih bukan karena lo suka. Bisa aja karena selama ini selalu ada yang perhatian banget sama lo, tapi tiba-tiba orang itu ngilang entah kemana. Pasti rasanya kehilangan gitu, kan?” Via mencoba untuk menebak apa yang dirasakan sahabatnya.

Dengan lemah Ima mengangguk namun sedetik kemudian ia menggeleng. “Nggak tau deh gue,” ujar Ima pasrah. Terserah kedua sahabatnya akan menafsirkan bagaimana.

“Ssstt, orangnya dateng!” bisik Sasha yang melihat Afi akan lewat di depan mereka.

Afi berlalu begitu saja tanpa memandang mereka bertiga sedikitpun. SEDIKITPUN. Mereka seperti hanya dianggap sebagai debu atau kuman yang jika ditatap akan menimbulkan penyakit parah.

Ima sesaat mematung. Iasangat geram. Dengan nekat, ia menyusul Afi. Sasha hendak menahan namun Ima telah terlanjur emosi.

“Berhenti,” perintah Ima dengan pelan namun tegas. “Lo kenapa, sih?” Afi menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang. Ima menarik lengan Afi.

Afi memandangnya dan segera melepaskan tangannya dari genggaman Ima. “Sori, aku udah punya pacar.”

Sasha dan Via yang mendengar pernyataan itu melongo. Bukan karena makna dari perkataan Afi. Tapi karena antara pertanyaan Ima dan jawaban yang terdengar nggak sinkron. Helo?? Apa hubungannya antara pertanyaan Ima dengan kalimat tadi?

Ima nggak kalah melongo. Namun berbeda dengan kedua sahabatnya. Dia menyampurkan sedikit perasaan kecewa di dalamnya. “Gue nggak peduli apa lo punya pacar atau lo udah duda. Gue cuma tanya kenapa lo sinis banget sama gue?” Ima menatap Afi dengan tajam.

“Tanya aja sama diri kamu.” Afi tersenyum lalu meninggalkan Ima yang terperangah. “Bye.” Afi melambaikan tangan tanpa menoleh.

Ima menahan emosinya dalam hati. Afi, setelah sikapnya yang sangat buruk di mata Ima, sekarang Ima nggak akan pernah membuka hatinya untuk orang itu. Padahal sempat Ima merasakan simpati dengannya. Tapi saat ini, bunga di dalam hati Ima yang hampir tumbuh telah layu sebelum sempat ia pelihara.

Ima bersama kedua sahabatnya menatap kepergian Afi sampai bayangannya hilang di elan dinding.

*end*

Hei, makasih udah baca. Gue minta maaf karena endingnya nggantung dan agak aneh. Walaupun kata guru gue ending terbuka buat cerpen itu nggak begitu baik, tapi biarlah. Gue bener-bener stuck disitu.

Well, jangan bosen ya baca karya gue yang lain. Tapi kalau bosen dan kalian mikir jelek, just close this page!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar