PROMISE TO BELIEVE

^ WELCOME ^

Sabtu, 08 Januari 2011

No Other-Super Junior

Neo gateun saram tto eopseo juwireul dureobwado geujeo georeohdeongeol eodiseo channi
Neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun ma eum neo gatchi joheun seonmul
Neomu dahaeng iya aesseo neorel jikyeojul geu sarami baro naraseo eodiseo channi
Na gatchi haengbokhan nom na gatchi haengbokhan nom na gatchi unneun geureon choegoro haengbokhan nom

Neoui ttatteuthan geu soni chagapge, chagapge shikeo isseul ttae
Neoui ganghaetdeon geu ma eumi nal karopge sangcheo badasseul ttae
Naega jaba julge anajulge salmyeoshi, geugeoseuro jakeun iroman dwendamyeon johgesseo
Eonjena deo maneun geol haejugo shipeun nae mam neon da mollado dwae

Gaseumi sorichyeo marhae jayuro-un nae yeonghon
Eonjena cheo-eumui imaeum euro neoreul saranghae georeo watdeon shiganboda nameun nari deo manha

Neo gateun saram tto eopseo juwireul dureobwado geujeo georeohdeongeol eodiseo channi
Neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun ma eum neo gatchi joheun seonmul
Neomu dahaeng iya aesseo neorel jikyeojul geu sarami baro naraseo eodiseo channi
Na gatchi haengbokhan nom na gatchi haengbokhan nom na gatchi unneun geureon choegoro haengbokhan nom

Naui ganan haetdeon maeumi nunbushige jeomjeom byeonhaegal ttae
Jakeun yokshimdeuri deoneun neomchiji anhge nae mamui geureut keojyeogalttae
Argo isseo geu modeun iyuneun bunmyeonghi nega isseo ju-eotdaneun geot geu, geot ttak hana ppun
Eonjena gamsahae. Naega mankeum geuri jalhal su iggenni yeah

Gaseumi sorichyeo marhae jayuro-un nae yeonghon
Eonjena cheo-eumui imaeum euro neoreul saranghae georeo watdeon shiganboda nameun nari deo manha

Neo gateun saram tto eopseo juwireul dureobwado geujeo georeohdeongeol eodiseo channi
Neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun ma eum neo gatchi joheun seonmul
Neomu dahaeng iya aesseo neorel jikyeojul geu sarami baro naraseo eodiseo channi
Na gatchi haengbokhan nom na gatchi haengbokhan nom na gatchi unneun geureon choegoro haengbokhan nom

Itjanha jogeum aju jogeum na sujupjiman neon molla sokeun taeyangboda tteugeoweo nae mam jom arajweo
TV show-e na oneun Girl deureun mudae-eseo bichi nandedo neon eonjena nunbushyeo (Naega michyeo michyeo Baby)
Saranghandan neoui mare sesangeuk da gajin nan You & I, You’re so fine neo gateun saram isseulkka
Saranghae oh, negeneun ojik neoppun iran geol babo gateun na-egeneun jeonburaneungeol arajweo

Gateun gireul georeo wasseo urin seoro dalpagago itjanha nolla-ul ppuniya goma-ul ppuniya saranghal ppuniya

Neo gateun saram tto eopseo juwireul dureobwado geujeo georeohdeongeol eodiseo channi
Neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun ma eum neo gatchi joheun seonmul
Neomu dahaeng iya aesseo neorel jikyeojul geu sarami baro naraseo eodiseo channi
Na gatchi haengbokhan nom na gatchi haengbokhan nom na gatchi unneun geureon choegoro haengbokhan nom

Translation

There’s no one like you, even if I look around it’s just like that
Where else to look for? A person good like you, a person good like you, a heart good like you, a gift good like you
How lucky, the person who will try hard to protect you is just me
Where else to look for? A guy happy like me, a guy happy like me, a guy who laughs with the greatest happiness like me

In cold times when your two warm hands turn cold, in hurt times when your heart which used to be strong turns soft
To silently take your hands, to silently hold you, I wish to cheer you up just by those little things
It’s fine even if you don’t know this heart of mine, which always wants to do more for you

My heart, say it out loud, my free soul
The days left are even more than the time when I came love you with a heart which always felt like the first time

*There’s no one like you, even if I look around it’s just like that
Where else to look for? A person good like you, a person good like you, a heart good like you, a gift good like you
How lucky, the person who will try hard to protect you is just me
Where else to look for? A guy happy like me, a guy happy like me, a guy who laughs with the greatest happiness like me

When my greedy heart gradually looks to other directions, when my greeds grow more than my mind can handle
To understand, to tell me clearly after all those excuses “I’m here”, only that one thing
I’m always thankful. Will I ever act that well just like you

My heart, say it out loud, my free soul
The days left are even more than the time when I came love you with a heart which always felt like the first time

*There’s no one like you, even if I look around it’s just like that
Where else to look for? A person good like you, a person good like you, a heart good like you, a gift good like you
How lucky, the person who will try hard to protect you is just me
Where else to look for? A guy happy like me, a guy happy like me, a guy who laughs with the greatest happiness like me

Rap> You know what, even though I’m a little, just a little bit, shy, you don’t know it but you’re burning like the sun, please understand my heart
Even though those girls appearing on TV shows are sparkling on stage, I always look at you (I’m crazy crazy Baby)
Hearing you tell me “I love you”, I have everything in this world You & I, You’re so fine, Is there even anyone like you?
I love you Oh, please know it, that to me there’s only you, that I foolishly see you as my everything

We came on the same road, we are just like each other, how surprising, how thankful, it’s just love

*There’s no one like you, even if I look around it’s just like that
Where else to look for? A person good like you, a person good like you, a heart good like you, a gift good like you
How lucky, the person who will try hard to protect you is just me
Where else to look for? A guy happy like me, a guy happy like me, a guy who laughs with the greatest happiness like me
There’s no one like you


Credit:
DateForSuju (romanization)
SM Town Indonesia (translation)

Jumat, 07 Januari 2011

THE WILT FLOWER

Di sudut lapangan sebuah sekolah, tiga cewek sedang terdampar karena kelelahan setelah memutari lapangan tersebut selama lima kali. Mereka adalah Ima, Sasha, dan Via. Ketiga cewek itu telah kenal hampir selama tiga tahun lamanya. Selama itu pulalah sebuah ikatan persahabatan terjalin di antara mereka.

“Haduh, gila! Gue capek banget. Sekarang mana sih guru itu? mending daritadi kita nggak usah keliling kali kalau nggak diawasin gini!” gerutu Ima. Dia memang orang yang suka mengeluh.

“Iya. Kehabisan tenaga nih gue. Mana bisa kita ikut pelajaran olahraga kalau udah lemes duluan ini.” Sasha mengelap peluh yang ada di dahinya. Ia lalu menatap Via yang terlihat tenang.

Ima menatap Sasha, “Elo sih, pake acara suruh nunggu segala. Telat kan gue sama Via jadinya!”

“Yee, kok jadi nylahin gue, sih? Salah sendiri mau.”

Via yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. “Kok malah ribut, sih? tuh liat ada yang ngeliatin kita.” Via menunjuk orang yang dimaksud dengan dagunya. “Kayaknya dia mau nyamperin kita deh.”

Ima dan Sasha mengikuti pandangan Via. Mereka pun beradu pandang dengan sosok tinggi kurus yang akhir-akhir ini sering mengusik Ima. Ima berdecak kesal, “Ck! Mati gue! Ngapain sih Afi pake nongol segala? Bikin mood tambah ancur aja.”

Tak lama kemudian, Afi benar berjalan kearah mereka sambil tersenyum jahil. “Hai. Ima… Kok nggak pelajaran? Anak yang lain mana?” tanya Afi ketika ia menyadari hanya ada tiga cewek itu di lapangan.

“Kok yag disapa Ima doing sih??” goda Sasha yang menyebabkan wajah Ima memerah seketika.

“Kita lagi dihukum. Gara-gara telat. Anak-anak lain udah masuk ke aula,” jelas Via tanpa memandang Afi yang berdiri menjulang di hadapannya. “Udah ya, kita mau ke aula dulu.” Via segera beranjak dari duduknya. Itu memang satu-satunya jalan agar mereka -khususnya Ima- terbebas dari Afi.

Ima dan Sasha segera mengikuti tanpa memandang sedikitpun kearah Afi. Afi hanya tersenyum sinis mendapati perlakuan yang masih sama dengan hari-hari sebelumnya.

***

“Kayaknya lo emang bener-bener kedu jaga jarak sama dia. Kita aja sampai enek ngeliatnya. Hih, untung dah bukan gue.” Sasha memperlihatkan sikap ‘Amit-amit jabang bayi’-nya dengan berlebihan. Kontan Ima dan Via pun tertawa.

Ima menyesap the botolnya. “Nah! Gue ngak cuma enek! Udah mutah dari kemarin tau! Gila aja, dia tu sms nggak penting banget gitu. Cuih dah! Padahal gue kan udah cuek banget gitu, tapi dia kok ngak mundur-mundur, sih!”

“Elo-elo kayak nggak tahu dia aja sih? Ya udah, Ma! Untuk sementara ini lo menghindar aja dari dia. Daripada lo bertindak barbar kan malah berabe nanti,” usul Via. Bersamaan dengan habisnya the botol mereka, bel berbunyi dengan sangat nyaring. Mereka pun kembali ke kelas.

“Ima, tadi lo dicari lho sama Afi. Ada apa sih? tambah ngelunjak tuh anak?” tanya Puput ketika Ima duduk di sampingnya.

“Banget, Put! Gue sampai stress nih!”

Puput menepuk bahu Ima untuk menenangkannya. “Sabar, ya!” Ima membalasnya dengan senyuman.

Pulang sekolah, saat Ima hendak keluar kelas, ia dikejutkan oleh sosok Afi yang sedang berdiri di tengah lapangan sambil menatap anak tangga di sebelah kelas Ima. Ima penasaran, ia pun mencari tahu setelah Afi lenyap dari pandangannya. Ketika Ima hendak melongok kearah tangga, tiba-tiba darisana muncul seoran yang tidak begitu ia kenali, tapi ia pernah melihatnya. Namanya Tias. Tias adalah salah satu dari adik kelasnya.

Ima menatap Tias sejenak. Lalu berpikir adakah sesuatu antara mereka? Kalau ada sih, Ima bakal sueneng banget karena akhirnya dia bakal terbebas dari cowok cungkring itu. Sesaat Ima merasakan ada bagian hatinya merasa tidak rela. Tapi langsung dienyahkannya perasaan itu. Ia segera masuk kembali ke dalam kelas dan mencari Via juga Sasha. Sayangnya Ima tak menemukan mereka di dalam kelas. Alternatif lain, Ima menghampiri Puput yang masih sibuk membereskan bukunya.

“Put, lo tau Tias nggak?” tanya Ima langsung ke tujuan.

Puput berpikir sejenak. Ia lalu mengingat dan memastikan apakah itu Tias yang dimaksud Ima. “Tias… adik kelas, kan? Kayaknya tau, dulu dia satu ekskul ma gue. Kenapa memangnya?”

Ima segera menyeret Puput untuk melihat Tias yang ia maksud. “Yang itu, kan?”

“He’eh.” Puput mengangguk. “Kenapa, sih?” tanyanya. Ia terlihat penasaran.

Ima lalu bercerita dengan singkat apa yang tadi dilihatnya. Puput mengangguk-angguk lalu menarik satu kesimpulan. “Jangan-jangan lo cemburu, ya?” tembak Puput.

Seketika Ima melotot padanya. “Enak aja! Gue nggak suka sama dia,” tandas Ima. ia lalu mengalihkan pembicaraan. “Lo mau keluar, kan? Ikut dong.”

“Oke.”

***

Sudah beberapa hari ini Ima dikejutkan dengan sepinya hape. Padahal kemarin-kemarin, Afi selalu sms dia. Tapi kenapa akhir-akhir ini nggak? Di sekolah pun Afi tak pernah lagi menyapanya seperti dulu. Sebagai gantinya, Afi justru hanya memberi senyuman sinis setiap mereka bertemu. Ada apa sih dengan dia?

“Kenapa sih tuh anak?” keluh Ima pada kedua sahabatnya ketika mereka sedang makan di kantin.

Sasha dan Via geleng-geleng kepala mendengar keluhan Ima. mungkin ini sudah yang ke seribu kalinya mereka mendengar keluhan yang sama.

“Ima, lo tuh aneh deh. Dulu katanya sebel. Eh sekarang nyariin terus. Dasar,” sindir Sasha.

“Lo ngerasa kehilangan ya? Emang sih bukan karena lo suka. Bisa aja karena selama ini selalu ada yang perhatian banget sama lo, tapi tiba-tiba orang itu ngilang entah kemana. Pasti rasanya kehilangan gitu, kan?” Via mencoba untuk menebak apa yang dirasakan sahabatnya.

Dengan lemah Ima mengangguk namun sedetik kemudian ia menggeleng. “Nggak tau deh gue,” ujar Ima pasrah. Terserah kedua sahabatnya akan menafsirkan bagaimana.

“Ssstt, orangnya dateng!” bisik Sasha yang melihat Afi akan lewat di depan mereka.

Afi berlalu begitu saja tanpa memandang mereka bertiga sedikitpun. SEDIKITPUN. Mereka seperti hanya dianggap sebagai debu atau kuman yang jika ditatap akan menimbulkan penyakit parah.

Ima sesaat mematung. Iasangat geram. Dengan nekat, ia menyusul Afi. Sasha hendak menahan namun Ima telah terlanjur emosi.

“Berhenti,” perintah Ima dengan pelan namun tegas. “Lo kenapa, sih?” Afi menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang. Ima menarik lengan Afi.

Afi memandangnya dan segera melepaskan tangannya dari genggaman Ima. “Sori, aku udah punya pacar.”

Sasha dan Via yang mendengar pernyataan itu melongo. Bukan karena makna dari perkataan Afi. Tapi karena antara pertanyaan Ima dan jawaban yang terdengar nggak sinkron. Helo?? Apa hubungannya antara pertanyaan Ima dengan kalimat tadi?

Ima nggak kalah melongo. Namun berbeda dengan kedua sahabatnya. Dia menyampurkan sedikit perasaan kecewa di dalamnya. “Gue nggak peduli apa lo punya pacar atau lo udah duda. Gue cuma tanya kenapa lo sinis banget sama gue?” Ima menatap Afi dengan tajam.

“Tanya aja sama diri kamu.” Afi tersenyum lalu meninggalkan Ima yang terperangah. “Bye.” Afi melambaikan tangan tanpa menoleh.

Ima menahan emosinya dalam hati. Afi, setelah sikapnya yang sangat buruk di mata Ima, sekarang Ima nggak akan pernah membuka hatinya untuk orang itu. Padahal sempat Ima merasakan simpati dengannya. Tapi saat ini, bunga di dalam hati Ima yang hampir tumbuh telah layu sebelum sempat ia pelihara.

Ima bersama kedua sahabatnya menatap kepergian Afi sampai bayangannya hilang di elan dinding.

*end*

Hei, makasih udah baca. Gue minta maaf karena endingnya nggantung dan agak aneh. Walaupun kata guru gue ending terbuka buat cerpen itu nggak begitu baik, tapi biarlah. Gue bener-bener stuck disitu.

Well, jangan bosen ya baca karya gue yang lain. Tapi kalau bosen dan kalian mikir jelek, just close this page!

Rabu, 05 Januari 2011

LIONTIN

Di suatu kota yang ramai penuh dengan orang yang sibuk dengan diri mereka masing-masing, seorang gadis juga tengah sibuk berlari agar tidak terlambat mendapat bus yang menuju sekolahnya. Ia terus berlari dan berlari tanpa mempedulikan angin yang menghantam wajahnya dan membuat rambutnya menjadi berantakan. Tiba-tiba, ketika ia sedang asyik-asyiknya berlari, tepat tujuh meter di depannya seorang laki-laki sedang berjalan dengan santai. Sang gadis sudah memperingatkan akan orang itu tidak menghalangi jalannya. Tapi percuma, orang itu tidak berpindah ke sisi kiri atau kanan. Ia seperti tidak mendengarkan teriakan maut raksasa yang akan lewat.

Tau bahwa dia tak berkutik, si gadis mencoba untuk berhenti berlari. Namun terlambat, karena sedari tadi ia berlari sangat cepat, peluangnya untuk berhenti pun sangat kecil. Alhasil, ia tetap saja menubruk lelaki itu dan mereka pun jatuh bersamaan dengan keadaan yang sangat memalukan. Orang-orang di sekeliling mereka memandang mereka dengan aneh. Namun sedetik kemudian mereka telah sibuk sendiri dengan aktivitas masing-masing. Tinggal si gadis dan lelaki itu yang saling berpandangan.

Si gadis bangkit dan mengusap sikunya yang terasa perih. Ia segera tersadar bahwa lengan bajunya sobek tergores aspal. Namun ia lebih menyadari jam di tangan kanannya. Waktu yang sangat mepet untuk mendapatkan bus. Ia pun segera membenahi seragamnya dan berlari tanpa memedulikan laki-laki itu walaupun ia sempat memandang sekilas kearahnya sebelum ia pergi.

“Viola Nikita...,” gumam laki-laki itu sembari memandang si gadis yang semakin menjauh dan akhirnya hilang dari pandangannya.

***

Viola datang tepat waktu untuk yang pertama kalinya. Untung saja ia tadi tidak buang-buang waktu sehingga perjuangannya pun tidak sia-sia. Saat ia sampai di pintu kelas, hal pertama yang ia lihat dari anak lain adalah pandangan aneh mereka. Bagaimana bisa mereka memandang seperti itu? Seharusnya mereka senang karena salah satu penghuni kelas mereka bisa mengubah kebiasaannya. Dengan dongkol Viola meletakkan tasnya di bangku.

“Vi,” panggil Chika yang ada di sampingnya.

“Kenapa?”

Chika menunjuk siku kanan Viola. “Itu tangan lo kenapa? Kok lengan bajunya sampai sobek gitu? Merah lagi. Itu cat atau darah, Vi?” Chika meringis membayangkan kalau itu darah. Pasti perih sekali rasanya. Pasti tidak hanya lengan baju yang sobek, tapi juga kulit Viola.

Viola melirik sejenak lalu ia terkejut melihat lengan bajunya yang mengerikan. Pantas saja teman-temannya memandang aneh. Ternyata karena itu. “Waduh, gimana nih? Gue nggak bawa dua seragam. Gimana dong?” Viola meminta solusi pada sahabatnya itu.

“Lo ke UKS aja. Obatin dulu luka lo. Itu luka, kan?” Chika bertanya untuk memastikan dan dijawab dengan anggukan oleh Viola. “Nah, nanti lo bilang ke guru yang jaga. Minta solusi gitu.”

“Oke deh.” Viola bangkit tanpa berterima kasih ataupun pamit terlebih dahulu pada Chika. Kebiasaan buruk seorang Viola adalah tidak pernah meminta maaf kalau ia tidak merasa bersalah walaupun jelas-jelas dia bersalah dan tak mau berterima kasih ketika itu dirasa tak perlu. Karena Chika telah cukup lama mengenal Viola dan mengetahui segala sesuatu tentang gadis itu, ia bersikap biasa. Tapi untuk orang-orang yang belum mengenal Viola, pastilah mereka akan mencak-mencak ketika kebiasaan buruk Viola muncul.

Sesampainya di UKS, Viola segera mencari guru yang sedang jaga. Tepat saat itu bel berbunyi, namun ia tak akan kembali ke kelas sebelum semua beres. Sekalian bolos pelajaran pertama sih kalau bisa. Hehehe...

“Permisi, Bu. Saya mau ngobatin luka ini,” kata Viola sambil memperlihatkan sikunya.

Ibu Mika mengangguk dan mempesilakan Viola duduk. Ia mengambil kotak obat-obatan. “Kenapa itu tanganmu, Vio?”

“Tadi jatuh waktu buru-buru di jalan, Bu. Tapi anehnya kok saya daritadi nggak ngerasa sakit ya, Bu? Malah saya baru sadar waktu temen saya ngasih tau. Kalau dia nggak bilang, mugkin saya juga nggak tau.”

“Mungkin karena kamu konsentrasi biar kamu nggak telat,” sindir Bu Mika sambil membersihkan luka Viola dengan air hangat. Disindir seperti itu, bukannya Viola bungkam ia justru malah bercerita panjang lebar tentang perjuangannya tadi pagi sehingga luka ini bisa terbentuk. Ibu Mika pun mendengarkannya dengan saksama dan sesekali tersenyum geli.

***

“Tadi pagi itu gue jatuh dimana ya? Oh! Kayaknya di depan kafe itu deh,” tanya dan jawab Viola pada dirinya sendiri. “Wah, mampir ah. Kenapa gue baru sadar ada kafe itu ya? Jatuh gue membawa berkah nih ternyata!”

Ketika ia akan masuk ke dalam kafe, ia melihat laki-laki yang ia tabrak tadi sedang keluar dari kafe. Laki-laki itu masih mengenakan jaket berwarna abu-abu. Tiba-tiba Viola melihat sesuatu jatuh dari saku celananya. Viola segera mengambil sesuatu itu. Ternyata papan nama si laki-laki.

“Givio Andra? Sama-sama ada ‘Vio’-nya. Hmm..,” gumam Viola. “Givio Andra,” seru Viola. Si pemilik nama tiba-tiba menoleh dan mengerutkan kening. Ia melihat Viola yang memandang kearahnya. Tak lama kemudian, Givio menghampiri Viola.

“Papan nama lo jatuh. Daripada besok lo nggak bisa ke sekolah mending gue kasih deh,” ujar Viola sembari mengembalikan papan nama itu. “Kenalin, nama gue-”

“Viola Nikita, kan?” putus Givio. “Lo yang tadi pagi nabrak gue, kan? Gue nggak bakal lupa kejadian ketika seorang cewek nabrak gue dan ngebuat pelipis gue luka dan pergi begitu aja setelah ngelakuin itu semua tanpa minta maaf.”

Viola meringis. “Tadi pagi gue buru-buru banget. Sebagai gantinya, gue minta maaf sekarang sambil gue traktir gimana? Sambil ngobrol bareng. Oke? Sip!” Viola segera menarik lengan Givio sebelum laki-laki itu menjawab. Mereka pun masuk ke dalam kafe seperti dua orang yang sudah saling mengenal.

***

Sejak pertemuan itu, Givio dan Viola sangat dekat. Hampir setiap hari mereka pergi ke kafe –yang harga makanan dan minumannya sangat terjangkau– itu. Mereka tak pernah kekurangan bahan obrolan. Ada saja yang mereka bicarakan. Sampai suatu hari, ketika Viola janji untuk menemui Givio di kafe, ia tak menemukan sosok Givio di sana. Setelah satu jam menunggu, Viola memutuskan untuk pulang. Namun, ketika gadis itu melewati meja kasir, seseorang yang menjaga kasir memanggil namanya. Seketika itu Viola menoleh dan mengerutkan kening.

“Maaf, ada apa? Saya tidak memesan apa-apa kok,” ujar Viola pada penjaga kasir bernama Romeo. Wih, cakep banget namanya! Tapi nggak buat orang cungkring kayak yang sekarang di hadapan Viola.

Romeo tersenyum, “Ini, ada titipan dari Mas Givio. Tau, kan? Yang pemilik kafe ini, yang suka dateng bareng mbak Viola.” Romeo mengangsurkan bingkisan dan surat kepada Viola.

“Ehm, makasih.” Viola segera berjalan keluar dan membuka isi surat yang diberikan Givio. Tapi ia teringat akan perkataan Romeo tadi. “Pemilik kafe ini? Givio yang punya kafe ini?” gumam Viola. Viola menggeleng tak percaya.

Viola membuka surat itu dan melihat tulisan tangan yang cukup asing di matanya.

Hai, Vio...

Kamu sekarang pasti lagi baca, kan? Maaf ya aku nggak bisa dateng ke kafe. Aku harus menemani ibuku berobat di luar selama setahun, untung aku belum daftar kuliah jadi nggak bakal keteteran.

Vi, mungkin menurutmu pertemuan kita sama sekali nggak berarti. Tapi bagiku, itu sangat berarti. Sejak pertama kita ketemu dalam keadaan yang ‘nggak banget’ aku udah ngeliat sisi dari kamu yang aku suka. Entah yang mana. Tapi aku bisa ngerasain ada yang istimewa dari kamu.

Vi, ternyata aku sayang sama kamu. Coba buka bingkisan yang aku kasih. Kalau kamu juga sayang sama aku, tolong jaga hati kamu untuk aku dan jaga benda itu agar tetap ada saat kita ketemu lagi. Tapi kalau nggak, kamu boleh diemin benda itu dan biarkan hatimu bebas.

Givio A.

***

Setahun kemudian...

Seorang gadis berlari menembus keramaian di sekitarnya. Ia berlari pontang-panting sehingga membuat rambut panjangnya terbang sesuai keinginan mereka. Gadis itu sudah bertambah dewasa. Ya, dia Viola. Kali ini ia sedang akan mengikuti tes untuk perguruan tinggi. Seperti biasa, ketika ia merasa bahwa dirinya terlambat maka ia tak akan peduli dengan keadaan sekitar.

Tiba-tiba tak jauh di depannya seseorang sedang berjalan dengan santai. Viola sudah mencoba untuk menghentikan lajunya namun justru ia menabrak seseorang di depannya dengan telak. Ajaibnya, ia tidak merasa kesakitan karena terbentur lantai. Viola membuka mata dan segera meminta maaf pada orang yang ditabraknya.

“Maaf, maaf...” Viola sambil membungkuk saat mengatakannya. Ketika Viola mengenali siapa yang di hadapannya, Viola merubah mimik wajahnya menjadi terkejut. “Gi..vio?”

Orang yang ternyata memang Givio itu mengangguk dengan segera. “Halo, aku baru aja mau ke SMA kamu dulu. Ternyata kamu nggak berubah ya. Tetep aja lari-lari nggak jelas. Makanya, kalau nggak mau telat itu bangunnya harus awal. Kalau udah gini kan nyusahin orang. Untung kamu nggak jatuh kayak dulu lagi!”

“Kok ngomongnya jadi aku-kamu sih? Berasa aneh deh. Lo tuh baru pulang udah ngomel nggak jelas! Bikin bete aja. Traktir-traktir ngapa. Kan lebih bermanfaat bisa ngenyangin perut,” desis Viola.

“Jangan ngambek dong! Gitu aja ngambek. Iya deh, nanti aku traktir. Eh, gimana, Vi? Kalung liontinnya dipake atau nggak? Aku udah siap mental buat tau nih.”

Viola melirik jam tangannya. “Hmm... kan masih 2 jam lagi nih gue tesnya, traktir sekarang aja deh. Gue lapeeerr,” rengek Viola, “nanti gue kasih liat deh ada di leher gue apa nggak.” Tanpa mendapat persetujuan Givio, gadis itu memasuki kafe yang ada di sampingnya yang tak lain tak bukan adalah kafe milik Givio.

Givio menahan lengan Viola. “Janji ya? Nanti aku anter deh ke tempat tesnya. Tau nggak? Aku beneran berharap jawaban yang menyenangkan lho!” Givio mengacak-acak rambut Viola dan merangkulnya masuk ke kafe.

****

Sabtu, 08 Januari 2011

No Other-Super Junior

Neo gateun saram tto eopseo juwireul dureobwado geujeo georeohdeongeol eodiseo channi
Neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun ma eum neo gatchi joheun seonmul
Neomu dahaeng iya aesseo neorel jikyeojul geu sarami baro naraseo eodiseo channi
Na gatchi haengbokhan nom na gatchi haengbokhan nom na gatchi unneun geureon choegoro haengbokhan nom

Neoui ttatteuthan geu soni chagapge, chagapge shikeo isseul ttae
Neoui ganghaetdeon geu ma eumi nal karopge sangcheo badasseul ttae
Naega jaba julge anajulge salmyeoshi, geugeoseuro jakeun iroman dwendamyeon johgesseo
Eonjena deo maneun geol haejugo shipeun nae mam neon da mollado dwae

Gaseumi sorichyeo marhae jayuro-un nae yeonghon
Eonjena cheo-eumui imaeum euro neoreul saranghae georeo watdeon shiganboda nameun nari deo manha

Neo gateun saram tto eopseo juwireul dureobwado geujeo georeohdeongeol eodiseo channi
Neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun ma eum neo gatchi joheun seonmul
Neomu dahaeng iya aesseo neorel jikyeojul geu sarami baro naraseo eodiseo channi
Na gatchi haengbokhan nom na gatchi haengbokhan nom na gatchi unneun geureon choegoro haengbokhan nom

Naui ganan haetdeon maeumi nunbushige jeomjeom byeonhaegal ttae
Jakeun yokshimdeuri deoneun neomchiji anhge nae mamui geureut keojyeogalttae
Argo isseo geu modeun iyuneun bunmyeonghi nega isseo ju-eotdaneun geot geu, geot ttak hana ppun
Eonjena gamsahae. Naega mankeum geuri jalhal su iggenni yeah

Gaseumi sorichyeo marhae jayuro-un nae yeonghon
Eonjena cheo-eumui imaeum euro neoreul saranghae georeo watdeon shiganboda nameun nari deo manha

Neo gateun saram tto eopseo juwireul dureobwado geujeo georeohdeongeol eodiseo channi
Neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun ma eum neo gatchi joheun seonmul
Neomu dahaeng iya aesseo neorel jikyeojul geu sarami baro naraseo eodiseo channi
Na gatchi haengbokhan nom na gatchi haengbokhan nom na gatchi unneun geureon choegoro haengbokhan nom

Itjanha jogeum aju jogeum na sujupjiman neon molla sokeun taeyangboda tteugeoweo nae mam jom arajweo
TV show-e na oneun Girl deureun mudae-eseo bichi nandedo neon eonjena nunbushyeo (Naega michyeo michyeo Baby)
Saranghandan neoui mare sesangeuk da gajin nan You & I, You’re so fine neo gateun saram isseulkka
Saranghae oh, negeneun ojik neoppun iran geol babo gateun na-egeneun jeonburaneungeol arajweo

Gateun gireul georeo wasseo urin seoro dalpagago itjanha nolla-ul ppuniya goma-ul ppuniya saranghal ppuniya

Neo gateun saram tto eopseo juwireul dureobwado geujeo georeohdeongeol eodiseo channi
Neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun saram neo gatchi joheun ma eum neo gatchi joheun seonmul
Neomu dahaeng iya aesseo neorel jikyeojul geu sarami baro naraseo eodiseo channi
Na gatchi haengbokhan nom na gatchi haengbokhan nom na gatchi unneun geureon choegoro haengbokhan nom

Translation

There’s no one like you, even if I look around it’s just like that
Where else to look for? A person good like you, a person good like you, a heart good like you, a gift good like you
How lucky, the person who will try hard to protect you is just me
Where else to look for? A guy happy like me, a guy happy like me, a guy who laughs with the greatest happiness like me

In cold times when your two warm hands turn cold, in hurt times when your heart which used to be strong turns soft
To silently take your hands, to silently hold you, I wish to cheer you up just by those little things
It’s fine even if you don’t know this heart of mine, which always wants to do more for you

My heart, say it out loud, my free soul
The days left are even more than the time when I came love you with a heart which always felt like the first time

*There’s no one like you, even if I look around it’s just like that
Where else to look for? A person good like you, a person good like you, a heart good like you, a gift good like you
How lucky, the person who will try hard to protect you is just me
Where else to look for? A guy happy like me, a guy happy like me, a guy who laughs with the greatest happiness like me

When my greedy heart gradually looks to other directions, when my greeds grow more than my mind can handle
To understand, to tell me clearly after all those excuses “I’m here”, only that one thing
I’m always thankful. Will I ever act that well just like you

My heart, say it out loud, my free soul
The days left are even more than the time when I came love you with a heart which always felt like the first time

*There’s no one like you, even if I look around it’s just like that
Where else to look for? A person good like you, a person good like you, a heart good like you, a gift good like you
How lucky, the person who will try hard to protect you is just me
Where else to look for? A guy happy like me, a guy happy like me, a guy who laughs with the greatest happiness like me

Rap> You know what, even though I’m a little, just a little bit, shy, you don’t know it but you’re burning like the sun, please understand my heart
Even though those girls appearing on TV shows are sparkling on stage, I always look at you (I’m crazy crazy Baby)
Hearing you tell me “I love you”, I have everything in this world You & I, You’re so fine, Is there even anyone like you?
I love you Oh, please know it, that to me there’s only you, that I foolishly see you as my everything

We came on the same road, we are just like each other, how surprising, how thankful, it’s just love

*There’s no one like you, even if I look around it’s just like that
Where else to look for? A person good like you, a person good like you, a heart good like you, a gift good like you
How lucky, the person who will try hard to protect you is just me
Where else to look for? A guy happy like me, a guy happy like me, a guy who laughs with the greatest happiness like me
There’s no one like you


Credit:
DateForSuju (romanization)
SM Town Indonesia (translation)

Jumat, 07 Januari 2011

THE WILT FLOWER

Di sudut lapangan sebuah sekolah, tiga cewek sedang terdampar karena kelelahan setelah memutari lapangan tersebut selama lima kali. Mereka adalah Ima, Sasha, dan Via. Ketiga cewek itu telah kenal hampir selama tiga tahun lamanya. Selama itu pulalah sebuah ikatan persahabatan terjalin di antara mereka.

“Haduh, gila! Gue capek banget. Sekarang mana sih guru itu? mending daritadi kita nggak usah keliling kali kalau nggak diawasin gini!” gerutu Ima. Dia memang orang yang suka mengeluh.

“Iya. Kehabisan tenaga nih gue. Mana bisa kita ikut pelajaran olahraga kalau udah lemes duluan ini.” Sasha mengelap peluh yang ada di dahinya. Ia lalu menatap Via yang terlihat tenang.

Ima menatap Sasha, “Elo sih, pake acara suruh nunggu segala. Telat kan gue sama Via jadinya!”

“Yee, kok jadi nylahin gue, sih? Salah sendiri mau.”

Via yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. “Kok malah ribut, sih? tuh liat ada yang ngeliatin kita.” Via menunjuk orang yang dimaksud dengan dagunya. “Kayaknya dia mau nyamperin kita deh.”

Ima dan Sasha mengikuti pandangan Via. Mereka pun beradu pandang dengan sosok tinggi kurus yang akhir-akhir ini sering mengusik Ima. Ima berdecak kesal, “Ck! Mati gue! Ngapain sih Afi pake nongol segala? Bikin mood tambah ancur aja.”

Tak lama kemudian, Afi benar berjalan kearah mereka sambil tersenyum jahil. “Hai. Ima… Kok nggak pelajaran? Anak yang lain mana?” tanya Afi ketika ia menyadari hanya ada tiga cewek itu di lapangan.

“Kok yag disapa Ima doing sih??” goda Sasha yang menyebabkan wajah Ima memerah seketika.

“Kita lagi dihukum. Gara-gara telat. Anak-anak lain udah masuk ke aula,” jelas Via tanpa memandang Afi yang berdiri menjulang di hadapannya. “Udah ya, kita mau ke aula dulu.” Via segera beranjak dari duduknya. Itu memang satu-satunya jalan agar mereka -khususnya Ima- terbebas dari Afi.

Ima dan Sasha segera mengikuti tanpa memandang sedikitpun kearah Afi. Afi hanya tersenyum sinis mendapati perlakuan yang masih sama dengan hari-hari sebelumnya.

***

“Kayaknya lo emang bener-bener kedu jaga jarak sama dia. Kita aja sampai enek ngeliatnya. Hih, untung dah bukan gue.” Sasha memperlihatkan sikap ‘Amit-amit jabang bayi’-nya dengan berlebihan. Kontan Ima dan Via pun tertawa.

Ima menyesap the botolnya. “Nah! Gue ngak cuma enek! Udah mutah dari kemarin tau! Gila aja, dia tu sms nggak penting banget gitu. Cuih dah! Padahal gue kan udah cuek banget gitu, tapi dia kok ngak mundur-mundur, sih!”

“Elo-elo kayak nggak tahu dia aja sih? Ya udah, Ma! Untuk sementara ini lo menghindar aja dari dia. Daripada lo bertindak barbar kan malah berabe nanti,” usul Via. Bersamaan dengan habisnya the botol mereka, bel berbunyi dengan sangat nyaring. Mereka pun kembali ke kelas.

“Ima, tadi lo dicari lho sama Afi. Ada apa sih? tambah ngelunjak tuh anak?” tanya Puput ketika Ima duduk di sampingnya.

“Banget, Put! Gue sampai stress nih!”

Puput menepuk bahu Ima untuk menenangkannya. “Sabar, ya!” Ima membalasnya dengan senyuman.

Pulang sekolah, saat Ima hendak keluar kelas, ia dikejutkan oleh sosok Afi yang sedang berdiri di tengah lapangan sambil menatap anak tangga di sebelah kelas Ima. Ima penasaran, ia pun mencari tahu setelah Afi lenyap dari pandangannya. Ketika Ima hendak melongok kearah tangga, tiba-tiba darisana muncul seoran yang tidak begitu ia kenali, tapi ia pernah melihatnya. Namanya Tias. Tias adalah salah satu dari adik kelasnya.

Ima menatap Tias sejenak. Lalu berpikir adakah sesuatu antara mereka? Kalau ada sih, Ima bakal sueneng banget karena akhirnya dia bakal terbebas dari cowok cungkring itu. Sesaat Ima merasakan ada bagian hatinya merasa tidak rela. Tapi langsung dienyahkannya perasaan itu. Ia segera masuk kembali ke dalam kelas dan mencari Via juga Sasha. Sayangnya Ima tak menemukan mereka di dalam kelas. Alternatif lain, Ima menghampiri Puput yang masih sibuk membereskan bukunya.

“Put, lo tau Tias nggak?” tanya Ima langsung ke tujuan.

Puput berpikir sejenak. Ia lalu mengingat dan memastikan apakah itu Tias yang dimaksud Ima. “Tias… adik kelas, kan? Kayaknya tau, dulu dia satu ekskul ma gue. Kenapa memangnya?”

Ima segera menyeret Puput untuk melihat Tias yang ia maksud. “Yang itu, kan?”

“He’eh.” Puput mengangguk. “Kenapa, sih?” tanyanya. Ia terlihat penasaran.

Ima lalu bercerita dengan singkat apa yang tadi dilihatnya. Puput mengangguk-angguk lalu menarik satu kesimpulan. “Jangan-jangan lo cemburu, ya?” tembak Puput.

Seketika Ima melotot padanya. “Enak aja! Gue nggak suka sama dia,” tandas Ima. ia lalu mengalihkan pembicaraan. “Lo mau keluar, kan? Ikut dong.”

“Oke.”

***

Sudah beberapa hari ini Ima dikejutkan dengan sepinya hape. Padahal kemarin-kemarin, Afi selalu sms dia. Tapi kenapa akhir-akhir ini nggak? Di sekolah pun Afi tak pernah lagi menyapanya seperti dulu. Sebagai gantinya, Afi justru hanya memberi senyuman sinis setiap mereka bertemu. Ada apa sih dengan dia?

“Kenapa sih tuh anak?” keluh Ima pada kedua sahabatnya ketika mereka sedang makan di kantin.

Sasha dan Via geleng-geleng kepala mendengar keluhan Ima. mungkin ini sudah yang ke seribu kalinya mereka mendengar keluhan yang sama.

“Ima, lo tuh aneh deh. Dulu katanya sebel. Eh sekarang nyariin terus. Dasar,” sindir Sasha.

“Lo ngerasa kehilangan ya? Emang sih bukan karena lo suka. Bisa aja karena selama ini selalu ada yang perhatian banget sama lo, tapi tiba-tiba orang itu ngilang entah kemana. Pasti rasanya kehilangan gitu, kan?” Via mencoba untuk menebak apa yang dirasakan sahabatnya.

Dengan lemah Ima mengangguk namun sedetik kemudian ia menggeleng. “Nggak tau deh gue,” ujar Ima pasrah. Terserah kedua sahabatnya akan menafsirkan bagaimana.

“Ssstt, orangnya dateng!” bisik Sasha yang melihat Afi akan lewat di depan mereka.

Afi berlalu begitu saja tanpa memandang mereka bertiga sedikitpun. SEDIKITPUN. Mereka seperti hanya dianggap sebagai debu atau kuman yang jika ditatap akan menimbulkan penyakit parah.

Ima sesaat mematung. Iasangat geram. Dengan nekat, ia menyusul Afi. Sasha hendak menahan namun Ima telah terlanjur emosi.

“Berhenti,” perintah Ima dengan pelan namun tegas. “Lo kenapa, sih?” Afi menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang. Ima menarik lengan Afi.

Afi memandangnya dan segera melepaskan tangannya dari genggaman Ima. “Sori, aku udah punya pacar.”

Sasha dan Via yang mendengar pernyataan itu melongo. Bukan karena makna dari perkataan Afi. Tapi karena antara pertanyaan Ima dan jawaban yang terdengar nggak sinkron. Helo?? Apa hubungannya antara pertanyaan Ima dengan kalimat tadi?

Ima nggak kalah melongo. Namun berbeda dengan kedua sahabatnya. Dia menyampurkan sedikit perasaan kecewa di dalamnya. “Gue nggak peduli apa lo punya pacar atau lo udah duda. Gue cuma tanya kenapa lo sinis banget sama gue?” Ima menatap Afi dengan tajam.

“Tanya aja sama diri kamu.” Afi tersenyum lalu meninggalkan Ima yang terperangah. “Bye.” Afi melambaikan tangan tanpa menoleh.

Ima menahan emosinya dalam hati. Afi, setelah sikapnya yang sangat buruk di mata Ima, sekarang Ima nggak akan pernah membuka hatinya untuk orang itu. Padahal sempat Ima merasakan simpati dengannya. Tapi saat ini, bunga di dalam hati Ima yang hampir tumbuh telah layu sebelum sempat ia pelihara.

Ima bersama kedua sahabatnya menatap kepergian Afi sampai bayangannya hilang di elan dinding.

*end*

Hei, makasih udah baca. Gue minta maaf karena endingnya nggantung dan agak aneh. Walaupun kata guru gue ending terbuka buat cerpen itu nggak begitu baik, tapi biarlah. Gue bener-bener stuck disitu.

Well, jangan bosen ya baca karya gue yang lain. Tapi kalau bosen dan kalian mikir jelek, just close this page!

Rabu, 05 Januari 2011

LIONTIN

Di suatu kota yang ramai penuh dengan orang yang sibuk dengan diri mereka masing-masing, seorang gadis juga tengah sibuk berlari agar tidak terlambat mendapat bus yang menuju sekolahnya. Ia terus berlari dan berlari tanpa mempedulikan angin yang menghantam wajahnya dan membuat rambutnya menjadi berantakan. Tiba-tiba, ketika ia sedang asyik-asyiknya berlari, tepat tujuh meter di depannya seorang laki-laki sedang berjalan dengan santai. Sang gadis sudah memperingatkan akan orang itu tidak menghalangi jalannya. Tapi percuma, orang itu tidak berpindah ke sisi kiri atau kanan. Ia seperti tidak mendengarkan teriakan maut raksasa yang akan lewat.

Tau bahwa dia tak berkutik, si gadis mencoba untuk berhenti berlari. Namun terlambat, karena sedari tadi ia berlari sangat cepat, peluangnya untuk berhenti pun sangat kecil. Alhasil, ia tetap saja menubruk lelaki itu dan mereka pun jatuh bersamaan dengan keadaan yang sangat memalukan. Orang-orang di sekeliling mereka memandang mereka dengan aneh. Namun sedetik kemudian mereka telah sibuk sendiri dengan aktivitas masing-masing. Tinggal si gadis dan lelaki itu yang saling berpandangan.

Si gadis bangkit dan mengusap sikunya yang terasa perih. Ia segera tersadar bahwa lengan bajunya sobek tergores aspal. Namun ia lebih menyadari jam di tangan kanannya. Waktu yang sangat mepet untuk mendapatkan bus. Ia pun segera membenahi seragamnya dan berlari tanpa memedulikan laki-laki itu walaupun ia sempat memandang sekilas kearahnya sebelum ia pergi.

“Viola Nikita...,” gumam laki-laki itu sembari memandang si gadis yang semakin menjauh dan akhirnya hilang dari pandangannya.

***

Viola datang tepat waktu untuk yang pertama kalinya. Untung saja ia tadi tidak buang-buang waktu sehingga perjuangannya pun tidak sia-sia. Saat ia sampai di pintu kelas, hal pertama yang ia lihat dari anak lain adalah pandangan aneh mereka. Bagaimana bisa mereka memandang seperti itu? Seharusnya mereka senang karena salah satu penghuni kelas mereka bisa mengubah kebiasaannya. Dengan dongkol Viola meletakkan tasnya di bangku.

“Vi,” panggil Chika yang ada di sampingnya.

“Kenapa?”

Chika menunjuk siku kanan Viola. “Itu tangan lo kenapa? Kok lengan bajunya sampai sobek gitu? Merah lagi. Itu cat atau darah, Vi?” Chika meringis membayangkan kalau itu darah. Pasti perih sekali rasanya. Pasti tidak hanya lengan baju yang sobek, tapi juga kulit Viola.

Viola melirik sejenak lalu ia terkejut melihat lengan bajunya yang mengerikan. Pantas saja teman-temannya memandang aneh. Ternyata karena itu. “Waduh, gimana nih? Gue nggak bawa dua seragam. Gimana dong?” Viola meminta solusi pada sahabatnya itu.

“Lo ke UKS aja. Obatin dulu luka lo. Itu luka, kan?” Chika bertanya untuk memastikan dan dijawab dengan anggukan oleh Viola. “Nah, nanti lo bilang ke guru yang jaga. Minta solusi gitu.”

“Oke deh.” Viola bangkit tanpa berterima kasih ataupun pamit terlebih dahulu pada Chika. Kebiasaan buruk seorang Viola adalah tidak pernah meminta maaf kalau ia tidak merasa bersalah walaupun jelas-jelas dia bersalah dan tak mau berterima kasih ketika itu dirasa tak perlu. Karena Chika telah cukup lama mengenal Viola dan mengetahui segala sesuatu tentang gadis itu, ia bersikap biasa. Tapi untuk orang-orang yang belum mengenal Viola, pastilah mereka akan mencak-mencak ketika kebiasaan buruk Viola muncul.

Sesampainya di UKS, Viola segera mencari guru yang sedang jaga. Tepat saat itu bel berbunyi, namun ia tak akan kembali ke kelas sebelum semua beres. Sekalian bolos pelajaran pertama sih kalau bisa. Hehehe...

“Permisi, Bu. Saya mau ngobatin luka ini,” kata Viola sambil memperlihatkan sikunya.

Ibu Mika mengangguk dan mempesilakan Viola duduk. Ia mengambil kotak obat-obatan. “Kenapa itu tanganmu, Vio?”

“Tadi jatuh waktu buru-buru di jalan, Bu. Tapi anehnya kok saya daritadi nggak ngerasa sakit ya, Bu? Malah saya baru sadar waktu temen saya ngasih tau. Kalau dia nggak bilang, mugkin saya juga nggak tau.”

“Mungkin karena kamu konsentrasi biar kamu nggak telat,” sindir Bu Mika sambil membersihkan luka Viola dengan air hangat. Disindir seperti itu, bukannya Viola bungkam ia justru malah bercerita panjang lebar tentang perjuangannya tadi pagi sehingga luka ini bisa terbentuk. Ibu Mika pun mendengarkannya dengan saksama dan sesekali tersenyum geli.

***

“Tadi pagi itu gue jatuh dimana ya? Oh! Kayaknya di depan kafe itu deh,” tanya dan jawab Viola pada dirinya sendiri. “Wah, mampir ah. Kenapa gue baru sadar ada kafe itu ya? Jatuh gue membawa berkah nih ternyata!”

Ketika ia akan masuk ke dalam kafe, ia melihat laki-laki yang ia tabrak tadi sedang keluar dari kafe. Laki-laki itu masih mengenakan jaket berwarna abu-abu. Tiba-tiba Viola melihat sesuatu jatuh dari saku celananya. Viola segera mengambil sesuatu itu. Ternyata papan nama si laki-laki.

“Givio Andra? Sama-sama ada ‘Vio’-nya. Hmm..,” gumam Viola. “Givio Andra,” seru Viola. Si pemilik nama tiba-tiba menoleh dan mengerutkan kening. Ia melihat Viola yang memandang kearahnya. Tak lama kemudian, Givio menghampiri Viola.

“Papan nama lo jatuh. Daripada besok lo nggak bisa ke sekolah mending gue kasih deh,” ujar Viola sembari mengembalikan papan nama itu. “Kenalin, nama gue-”

“Viola Nikita, kan?” putus Givio. “Lo yang tadi pagi nabrak gue, kan? Gue nggak bakal lupa kejadian ketika seorang cewek nabrak gue dan ngebuat pelipis gue luka dan pergi begitu aja setelah ngelakuin itu semua tanpa minta maaf.”

Viola meringis. “Tadi pagi gue buru-buru banget. Sebagai gantinya, gue minta maaf sekarang sambil gue traktir gimana? Sambil ngobrol bareng. Oke? Sip!” Viola segera menarik lengan Givio sebelum laki-laki itu menjawab. Mereka pun masuk ke dalam kafe seperti dua orang yang sudah saling mengenal.

***

Sejak pertemuan itu, Givio dan Viola sangat dekat. Hampir setiap hari mereka pergi ke kafe –yang harga makanan dan minumannya sangat terjangkau– itu. Mereka tak pernah kekurangan bahan obrolan. Ada saja yang mereka bicarakan. Sampai suatu hari, ketika Viola janji untuk menemui Givio di kafe, ia tak menemukan sosok Givio di sana. Setelah satu jam menunggu, Viola memutuskan untuk pulang. Namun, ketika gadis itu melewati meja kasir, seseorang yang menjaga kasir memanggil namanya. Seketika itu Viola menoleh dan mengerutkan kening.

“Maaf, ada apa? Saya tidak memesan apa-apa kok,” ujar Viola pada penjaga kasir bernama Romeo. Wih, cakep banget namanya! Tapi nggak buat orang cungkring kayak yang sekarang di hadapan Viola.

Romeo tersenyum, “Ini, ada titipan dari Mas Givio. Tau, kan? Yang pemilik kafe ini, yang suka dateng bareng mbak Viola.” Romeo mengangsurkan bingkisan dan surat kepada Viola.

“Ehm, makasih.” Viola segera berjalan keluar dan membuka isi surat yang diberikan Givio. Tapi ia teringat akan perkataan Romeo tadi. “Pemilik kafe ini? Givio yang punya kafe ini?” gumam Viola. Viola menggeleng tak percaya.

Viola membuka surat itu dan melihat tulisan tangan yang cukup asing di matanya.

Hai, Vio...

Kamu sekarang pasti lagi baca, kan? Maaf ya aku nggak bisa dateng ke kafe. Aku harus menemani ibuku berobat di luar selama setahun, untung aku belum daftar kuliah jadi nggak bakal keteteran.

Vi, mungkin menurutmu pertemuan kita sama sekali nggak berarti. Tapi bagiku, itu sangat berarti. Sejak pertama kita ketemu dalam keadaan yang ‘nggak banget’ aku udah ngeliat sisi dari kamu yang aku suka. Entah yang mana. Tapi aku bisa ngerasain ada yang istimewa dari kamu.

Vi, ternyata aku sayang sama kamu. Coba buka bingkisan yang aku kasih. Kalau kamu juga sayang sama aku, tolong jaga hati kamu untuk aku dan jaga benda itu agar tetap ada saat kita ketemu lagi. Tapi kalau nggak, kamu boleh diemin benda itu dan biarkan hatimu bebas.

Givio A.

***

Setahun kemudian...

Seorang gadis berlari menembus keramaian di sekitarnya. Ia berlari pontang-panting sehingga membuat rambut panjangnya terbang sesuai keinginan mereka. Gadis itu sudah bertambah dewasa. Ya, dia Viola. Kali ini ia sedang akan mengikuti tes untuk perguruan tinggi. Seperti biasa, ketika ia merasa bahwa dirinya terlambat maka ia tak akan peduli dengan keadaan sekitar.

Tiba-tiba tak jauh di depannya seseorang sedang berjalan dengan santai. Viola sudah mencoba untuk menghentikan lajunya namun justru ia menabrak seseorang di depannya dengan telak. Ajaibnya, ia tidak merasa kesakitan karena terbentur lantai. Viola membuka mata dan segera meminta maaf pada orang yang ditabraknya.

“Maaf, maaf...” Viola sambil membungkuk saat mengatakannya. Ketika Viola mengenali siapa yang di hadapannya, Viola merubah mimik wajahnya menjadi terkejut. “Gi..vio?”

Orang yang ternyata memang Givio itu mengangguk dengan segera. “Halo, aku baru aja mau ke SMA kamu dulu. Ternyata kamu nggak berubah ya. Tetep aja lari-lari nggak jelas. Makanya, kalau nggak mau telat itu bangunnya harus awal. Kalau udah gini kan nyusahin orang. Untung kamu nggak jatuh kayak dulu lagi!”

“Kok ngomongnya jadi aku-kamu sih? Berasa aneh deh. Lo tuh baru pulang udah ngomel nggak jelas! Bikin bete aja. Traktir-traktir ngapa. Kan lebih bermanfaat bisa ngenyangin perut,” desis Viola.

“Jangan ngambek dong! Gitu aja ngambek. Iya deh, nanti aku traktir. Eh, gimana, Vi? Kalung liontinnya dipake atau nggak? Aku udah siap mental buat tau nih.”

Viola melirik jam tangannya. “Hmm... kan masih 2 jam lagi nih gue tesnya, traktir sekarang aja deh. Gue lapeeerr,” rengek Viola, “nanti gue kasih liat deh ada di leher gue apa nggak.” Tanpa mendapat persetujuan Givio, gadis itu memasuki kafe yang ada di sampingnya yang tak lain tak bukan adalah kafe milik Givio.

Givio menahan lengan Viola. “Janji ya? Nanti aku anter deh ke tempat tesnya. Tau nggak? Aku beneran berharap jawaban yang menyenangkan lho!” Givio mengacak-acak rambut Viola dan merangkulnya masuk ke kafe.

****