PROMISE TO BELIEVE

^ WELCOME ^

Rabu, 29 Desember 2010

A.MI.Go!

“Cold heart baby... Cold eyes baby, let’s go!”

Suara musik sedikit beat menggema di aula sekolah. Seorang gadis sedang memperhatikan gerakan yang ada pada laptop miliknya. Rupanya dia sedang meniru gerakan dalam MV tersebut. Gadis itu mengamati dengan saksama tanpa kedipan. Lalu ia mengulang lagu tersebut dan menirukan gerakannnya. Luwes sekali. Ia bergerak dengan bebasnya seperti seorang penari yang handal.

Nama gadis itu Kia. Seorang gadis bertubuh lumayan tinggi yang sering menguncir kedua rambutnya seperti gadis desa. Ia memiliki tatapan mata tajam dan jernih. Namun sayangnya, mata indah itu ia sengaja lapisi dengan kacamata. Ya, dia memang sedikit rabun jauh akibat posisi membaca yang salah.

Ia tak punya satu teman dekat pun di sekolahnya. Kia tergolong orang yang pendiam tapi jika ada orang yang memintanya untuk menari, ia akan melakukannya dengan senang hati. Ia sangat suka menari. Bukan tarian tradisional tapi tarian modern. Ia sangat terinspirasi oleh boy band-boy band yang menjadi favoritnya. Tarian mereka sangatlah baik.

“Fuuuhh...,” gumamnya. Sepertinya ia mulai kelelahan. Keringat mengucur deras di pelipisnya. Ia melepas topi yang ia kenakan.

“Capek? Bagus juga gerakanmu...”

Kia sontak mencari sumber suara tersebut. Ia melihat tiga orang yang tidak ia kenal berdiri tak jauh darinya. Mereka tersenyum. Seseorang tiba-tiba menghampirinya dan memeluknya dari samping. Kia buru-buru menepis tangannya. Ia memang takut terhadap anak laki-laki. “Mau apa?”

“Kita juga bisa kok nge-dance. Mau kerjasama?” ujar salah seorang. Ia terlihat ramah. “Namaku Moz, dia Ray dan ini Gin. Kebetulan, kita juga lagi latihan dance yang di lagu ini. Gimana? Mau kerjasama?”

Kia menatap ketiga laki-laki itu. Ia menyembunyikan sorot ketakutannya. “Aku nggak kenal kalian,” setelah berkata itu, Kia memasukkan laptop dan handuknya ke dalam tas lalu pergi dari hadapan mereka.

***

“Heh cupu, ada yang nyari tuh! Orangnya galak-galak deh. Pasti lo ada masalah sama mereka, kan? Kasihan...,” ujar Miga, teman sekelas Kia yang tidak menyukainya. Kia berlalu dengan mulut bungkam.

“Oke, aku mau kerjasama dengan kalian. Tapi untuk apa kita kerjasama?” tanya Kia dengan polosnya ketika ia telah berhadapan dengan ketiga orang yang mendatanginya.

Moz dan Gin tertawa. Gin malah sampai mengeluarkan airmata. Hanya Ray yang tetap diam dan menyunggingkan sedikit senyum remeh. “Aduh, Kia... Kamu aneh. Ya nggak, Moz? Kia inget nggak kalau kamu pernah posting di page-mu kalau kamu pengen banget punya partner dalam menari dan suatu saat bisa ikut audisi terus bisa ngebuktiin ke temen-temen kamu kalau kamu ini bukan orang cupu yang hanya bisa diam saat semua orang mengolok-olok kamu. Inget? Baru-baru ini lagi kamu nge-post...”

Kia berusaha mengingatnya. Akhirnya ia teringat postingan terakhirnya sebelum ia sibuk berlatih dance ini. “Gimana kalian bisa tau?”

“Suatu saat lo pasti ngerti.” Ujar Ray yang baru berbicara saat ini sejak pertama mereka bertemu. Kia memandang Ray dengan curiga. Ia merasa familiar dengan mata Ray. Tatapan itu tajam, ramah namun bisa juga galak.

“Oke, aku terima. Kapan latihan bareng?”

“Pulang sekolah nanti. Bisa?” Moz memastikan. Sepertinya orang itu pimpinan dari ketiga orang itu. Terlihat dari cara bicaranya yang bossy. Tapi dia asyik juga. Nggak kayak Ray yang cuek bebek gitu. Gimana Moz sama Gin koordinasi ya sama orang kayak Ray?

“Well, oke. Kalian sekarang nggak sekolah?”

Gin menggeleng, “Bolos. Hehehe... Mending buat latihan kok daripada sekolah tapi cuma jadi bulan-bulanan guru.” Kia tertawa. Lalu ia melambaikan tangan karena bel telah berbunyi.

***

“Cold heart baby... Cold eyes baby, let’s go! Mannatda banhaetda
Keunyeo-ege banhaetda Cheoeum boneun sexy
.....” lagu yang sama terdengar mengalun di ruang latihan Moz dan kedua temannya. Sesuai kesepakatan, mereka bersama Kia berlatih seusai sekolah. Kia menyetujui tempat latihan mereka kali ini adalah tempat milik ketiga teman barunya. Biasanya, ia berlatih di aula sekolah. Tapi karena hari ini aula digunakan untuk latihan basket, maka Kia dengan senang hati mengikuti Moz, Gin dan Ray.

Selama perjalanan tadi, Kia merasa sudah sangat mengenal mereka bertiga. Ternyata Ray tidak secuek yang Kia kira. Tapi kenapa dia bersikap tidak peduli pada Kia? Padahal ia tidak seperti itu dengan kedua temannya. Aneh.

Tiba-tiba Kia teringat akan tadi sebelum mereka memulai latihan. Saat itu, Moz, Gin, dan Ray sedang bercakap-cakap saat Kia sedang mengganti pakaiannya di sebuah ruangan. Ia sedikit mendengar mereka sedang membicarakan seseorang yang ada hubungannya dengan Ray.

“Ray, lo suka sama dia, kan? Ngaku aja... Gue lihat cara lo mandang dia kok. Seperti sesuatu yang sangat berarti. Kayak permata gitu...”

“Diem deh, Gin. Rese...,” Ray tidak bisa menyembunyikan senyum saltingnya. Dia memang tidak bisa berbohong terhadap kedua temannya itu.

“Hei!” Kia terlonjak kaget ketika seseorang menepuk bahunya dengan satu sentakan. “Kok bengong? Bagian mana yang kamu nggak bisa? Tadi udah lihat gerakan kita, kan? Jangan bilang daritadi kamu bengong!” Gin berkata dengan cerewetnya.

Kia meringis. “Maaf...”

“Iiihh.. ketawa lagi dong! Lucu lho!” Moz spontan mengacak-acak rambut Kia.

“Guys, gue dapet selebaran ini dari temen gue. Ada audisi satu minggu lagi. Hadiahnya lumayan. Mau join?” tawar Ray yang tanpa menatap yang lain. Ia tetap membaca selebaran yang ada di tangannya. Karena tak ada jawaban dari ketiga anak lain, ia mendongak dan melihat apa yang mereka lakukan. Sepertinya mereka sedang berdiskusi. “Gimana?”

“Oke...,” seru ketiganya kompak.

“Sekarang, kita latihan yang serius. Ray, Gin ambil posisi. Kia, kamu dah hafal sebagian dari gerakannya, kan? Bagus. Kalau gitu, Kia kamu di samping Ray.”

Kia menoleh kaget ke arah Moz. “Aku depan? Tapi kan... aku sama sekali nggak bagus. Mending aku sama Gin aja gimana?

Gin menggeleng tegas. “Gini, Kia. Aku sih mau aja kalau kamu sama aku. Tapi kalau gitu, berarti kita ngubah gerakan. Itu justru bakal lama, kan? Jadi, kamu sama Ray aja. Oke? Nggak apa-apa kok. Ray itu anak yang baik sebenernya. Dia nggak bakal makan kamu.” Gin menghentikan perkataannya karena Ray melotot kepadanya.

Kia mengangguk. Latihan pun dimulai.

***

Hari yang mereka nanti akhirnya tiba. Dengan persiapan seadanya, mereka berangkat ke tempat audisi. Satu minggu adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mempelajari gerakan mereka. Satu minggu juga merupakan waktu yang cukup untuk membina persahabatan mereka. Terbukti setelah satu minggu ini, mereka bertambah dekat satu sama lain termasuk Ray yang mulai terbuka dengan Kia. Sekarang Ray sudah bisa tertawa seperti biasa di depan Kia. Ia pernah juga sampai menggenggam tangan Kia saat gadis itu hampir terjatuh.

“Untung kita berangkat pagi banget. Nggak sia-sia nih dapet giliran ke lima,” ujar Moz yang mendapat giliran untuk melakukan pendaftaran sedangkan anak lain memilih tempat untuk mereka duduk.

“Gue grogi nih...”

“Nggak boleh grogi. Kita kan nggak pertama ini ikut audisi,” tandas Moz pada Ray.

Kia mengangguk-angguk. “Moz bener, Ray. Aku aja nggak grogi kok. Padahal ini baru pertama kalinya aku ikut audisi lho!”

Ray menoleh kearah Kia. Ia teringat betapa hebatnya gerakan Kia. Tubuhnya sangat lentur. Namun saat melakukan gerakan robot, tubuhnya bisa terlihat sangat kaku. Hebat sekali. “Ki, lo–eh, kamu tau nggak? Gerakan lo-kamu itu bagus banget!” Ray masih sedikit sulit untuk mengubah cara bicaranya agar lebih sopan. Tapi sudah sejak lima hari lalu, ia masih saja sulit untuk mengubahnya karena pada Moz dan Gin pun ia masih menggunakan ‘lo-gue’.

Kia terkekeh, “Udah, lo-gue juga nggak apa-apa kok, Ray. Aku sih nggak masalah. Temen-temen sekolahku juga gitu kok. Gerakan? Bukannya gerakannya itu sama semua, ya? Cara gerak maksudmu?” pertanyaan Kia langsung Ray jawab dengan anggukan. “Bagus? Makasih deh..”

“Eh, audisinya udah mulai. Siap, kan?” ujar Gin memecah keheningan yang tadi sempat tercipta. Ketiganya mengangguk. Mereka lalu menunggu giliran mereka.

***

Tiga minggu kemudian...

Sejak audisi yang membuat mereka bangga akan diri mereka, Moz, Ray, Gin, dan Kia bekerjasama untuk audisi-audisi lain. Walaupun mereka hanya mendapat juara kedua, mereka sangat bahagia dan itu juga sempat melejitkan nama mereka. Akhir-akhir ini, mereka tak sempat latihan karena kesibukan masing-masing. Moz yang memang telah memasuki perguruan tinggi sedang fokus pada tugas-tugas yang diberikan dosen. Ray, Gin, dan Kia sedang menempuh ujian semesteran di sekolah mereka masing-masing. Namun Kia dan Gin sering bertemu untuk belajar bersama karena mereka seumuran. Sedangkan Ray tidak bisa bergabung dengan mereka berdua karena ia setahun lebih tua dari Kia dan Gin.

Hari ini, tes sudah selesai. Ray memutuskan untuk menemui Kia. “Kia, ketemuan yuk! Di taman, oke? Nanti kita ketemu disana. Jam 4. Gue tunggu.”

Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya Kia datang dengan penampilan yang berbeda dari biasanya. Ia mengenakan rok selutut dan kemeja pendek. Rambutnya ia gerai. Ia juga melepas kacamatanya. Sangat cantik.

“Sori. Lama, ya? Tadi kakak gue lambat banget nyupirnya. Sori ya?”

Ray tersenyum. “Nggak apa-apa. Gimana tes lo? Hasilnya pasti bagus, kan?” Ray basa-basi.

“Ada yang bagus, ada juga yang jeblok. Habis waktu itu aku lagi males ngerjain jadi aku malah cari gerakan dance. Hahaha... Oh ya, kenapa ngajakin ketemuan? Bukannya besok kita udah latihan bareng? Kan bisa besok ketemu.”

Bukannya menjawab pertanyaan Kia, Ray justru bertanya sesuatu yang tidak Kia duga. “Lo tau apa arti kata ‘A.Mi.Go’ yang kita pakai buat dance?” Ray memandang kolam di depannya.

“Tau. Jika kamu mencintai seseorang dari kecantikannya saja, maka kamu akan menderita. Ya, kan? Memang kenapa?”

“Sebelumnya gue nggak pernah mandang lo sebagai cewek seperti sekarang ini. Gue suka gadis yang cantik. Gue pernah punya seseorang, gue sayang dia. Dia cewek yang dipuja-puja di sekolah. Gue bener-bener bangga punya dia. She is very beautiful. Tapi, ketika gue lagi sayang banget sama dia, tiba-tiba dia mutusin gue. Gue ngerasa menderita banget!”

Kia sama sekali tidak mengerti akan arah pembicaraan Ray. “Ehm, tapi sekarang udah nggak, kan?” tanya Kia iseng. Soalnya dia nggak tau lagi mau tanya apaan.

“Ki, gue... Gue nggak akan tertipu lagi sama kecantikan orang-orang di luar sana. Karena sekarang gue udah punya orang yang cantik banget hatinya. Orang itu elo... Mau nggak lo jadi cewek gue?” Ray menatap Kia dengan teduh. Ia tahu gadis di hadapannya salting.

“Aku?” tanya Kia kikuk. “Ah, nggak mungkin.” Kia mengibaskan tangannya yang seketika itu di raih oleh Ray.

“Lo nggak percaya?”

Kia menggeleng seketika. “Nggak.”

Ray yang mendengarnya terperangah. Dasar nih anak ngomong asal njeplak aja. Ray kontan sedikit down karena kejujuran Kia. “Apa yang bisa gue lakuin biar lo percaya?”

“Nyemplung kolam. Bisa?” tantang Kia.

Ray berpikir sejenak, ia segera melepas sepatunya.

“Eh, aku becanda, Ray. Oke aku percaya. Aku jawab nantian aja ya biar kamu penasaran. Tapi kalau sekarang kamu bisa ngejar aku, bakal aku jawab saat itu juga.”

Melihat Kia berlari terbirit-birit, Ray tersadar dan mengejar Kia sampai ia dapat. Benar-benar cewek itu unik banget. Sepertinya saat ini dia nggak salah jatuh cinta dengan gadis pendiam tapi ternyata gila itu.

*endendend*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 29 Desember 2010

A.MI.Go!

“Cold heart baby... Cold eyes baby, let’s go!”

Suara musik sedikit beat menggema di aula sekolah. Seorang gadis sedang memperhatikan gerakan yang ada pada laptop miliknya. Rupanya dia sedang meniru gerakan dalam MV tersebut. Gadis itu mengamati dengan saksama tanpa kedipan. Lalu ia mengulang lagu tersebut dan menirukan gerakannnya. Luwes sekali. Ia bergerak dengan bebasnya seperti seorang penari yang handal.

Nama gadis itu Kia. Seorang gadis bertubuh lumayan tinggi yang sering menguncir kedua rambutnya seperti gadis desa. Ia memiliki tatapan mata tajam dan jernih. Namun sayangnya, mata indah itu ia sengaja lapisi dengan kacamata. Ya, dia memang sedikit rabun jauh akibat posisi membaca yang salah.

Ia tak punya satu teman dekat pun di sekolahnya. Kia tergolong orang yang pendiam tapi jika ada orang yang memintanya untuk menari, ia akan melakukannya dengan senang hati. Ia sangat suka menari. Bukan tarian tradisional tapi tarian modern. Ia sangat terinspirasi oleh boy band-boy band yang menjadi favoritnya. Tarian mereka sangatlah baik.

“Fuuuhh...,” gumamnya. Sepertinya ia mulai kelelahan. Keringat mengucur deras di pelipisnya. Ia melepas topi yang ia kenakan.

“Capek? Bagus juga gerakanmu...”

Kia sontak mencari sumber suara tersebut. Ia melihat tiga orang yang tidak ia kenal berdiri tak jauh darinya. Mereka tersenyum. Seseorang tiba-tiba menghampirinya dan memeluknya dari samping. Kia buru-buru menepis tangannya. Ia memang takut terhadap anak laki-laki. “Mau apa?”

“Kita juga bisa kok nge-dance. Mau kerjasama?” ujar salah seorang. Ia terlihat ramah. “Namaku Moz, dia Ray dan ini Gin. Kebetulan, kita juga lagi latihan dance yang di lagu ini. Gimana? Mau kerjasama?”

Kia menatap ketiga laki-laki itu. Ia menyembunyikan sorot ketakutannya. “Aku nggak kenal kalian,” setelah berkata itu, Kia memasukkan laptop dan handuknya ke dalam tas lalu pergi dari hadapan mereka.

***

“Heh cupu, ada yang nyari tuh! Orangnya galak-galak deh. Pasti lo ada masalah sama mereka, kan? Kasihan...,” ujar Miga, teman sekelas Kia yang tidak menyukainya. Kia berlalu dengan mulut bungkam.

“Oke, aku mau kerjasama dengan kalian. Tapi untuk apa kita kerjasama?” tanya Kia dengan polosnya ketika ia telah berhadapan dengan ketiga orang yang mendatanginya.

Moz dan Gin tertawa. Gin malah sampai mengeluarkan airmata. Hanya Ray yang tetap diam dan menyunggingkan sedikit senyum remeh. “Aduh, Kia... Kamu aneh. Ya nggak, Moz? Kia inget nggak kalau kamu pernah posting di page-mu kalau kamu pengen banget punya partner dalam menari dan suatu saat bisa ikut audisi terus bisa ngebuktiin ke temen-temen kamu kalau kamu ini bukan orang cupu yang hanya bisa diam saat semua orang mengolok-olok kamu. Inget? Baru-baru ini lagi kamu nge-post...”

Kia berusaha mengingatnya. Akhirnya ia teringat postingan terakhirnya sebelum ia sibuk berlatih dance ini. “Gimana kalian bisa tau?”

“Suatu saat lo pasti ngerti.” Ujar Ray yang baru berbicara saat ini sejak pertama mereka bertemu. Kia memandang Ray dengan curiga. Ia merasa familiar dengan mata Ray. Tatapan itu tajam, ramah namun bisa juga galak.

“Oke, aku terima. Kapan latihan bareng?”

“Pulang sekolah nanti. Bisa?” Moz memastikan. Sepertinya orang itu pimpinan dari ketiga orang itu. Terlihat dari cara bicaranya yang bossy. Tapi dia asyik juga. Nggak kayak Ray yang cuek bebek gitu. Gimana Moz sama Gin koordinasi ya sama orang kayak Ray?

“Well, oke. Kalian sekarang nggak sekolah?”

Gin menggeleng, “Bolos. Hehehe... Mending buat latihan kok daripada sekolah tapi cuma jadi bulan-bulanan guru.” Kia tertawa. Lalu ia melambaikan tangan karena bel telah berbunyi.

***

“Cold heart baby... Cold eyes baby, let’s go! Mannatda banhaetda
Keunyeo-ege banhaetda Cheoeum boneun sexy
.....” lagu yang sama terdengar mengalun di ruang latihan Moz dan kedua temannya. Sesuai kesepakatan, mereka bersama Kia berlatih seusai sekolah. Kia menyetujui tempat latihan mereka kali ini adalah tempat milik ketiga teman barunya. Biasanya, ia berlatih di aula sekolah. Tapi karena hari ini aula digunakan untuk latihan basket, maka Kia dengan senang hati mengikuti Moz, Gin dan Ray.

Selama perjalanan tadi, Kia merasa sudah sangat mengenal mereka bertiga. Ternyata Ray tidak secuek yang Kia kira. Tapi kenapa dia bersikap tidak peduli pada Kia? Padahal ia tidak seperti itu dengan kedua temannya. Aneh.

Tiba-tiba Kia teringat akan tadi sebelum mereka memulai latihan. Saat itu, Moz, Gin, dan Ray sedang bercakap-cakap saat Kia sedang mengganti pakaiannya di sebuah ruangan. Ia sedikit mendengar mereka sedang membicarakan seseorang yang ada hubungannya dengan Ray.

“Ray, lo suka sama dia, kan? Ngaku aja... Gue lihat cara lo mandang dia kok. Seperti sesuatu yang sangat berarti. Kayak permata gitu...”

“Diem deh, Gin. Rese...,” Ray tidak bisa menyembunyikan senyum saltingnya. Dia memang tidak bisa berbohong terhadap kedua temannya itu.

“Hei!” Kia terlonjak kaget ketika seseorang menepuk bahunya dengan satu sentakan. “Kok bengong? Bagian mana yang kamu nggak bisa? Tadi udah lihat gerakan kita, kan? Jangan bilang daritadi kamu bengong!” Gin berkata dengan cerewetnya.

Kia meringis. “Maaf...”

“Iiihh.. ketawa lagi dong! Lucu lho!” Moz spontan mengacak-acak rambut Kia.

“Guys, gue dapet selebaran ini dari temen gue. Ada audisi satu minggu lagi. Hadiahnya lumayan. Mau join?” tawar Ray yang tanpa menatap yang lain. Ia tetap membaca selebaran yang ada di tangannya. Karena tak ada jawaban dari ketiga anak lain, ia mendongak dan melihat apa yang mereka lakukan. Sepertinya mereka sedang berdiskusi. “Gimana?”

“Oke...,” seru ketiganya kompak.

“Sekarang, kita latihan yang serius. Ray, Gin ambil posisi. Kia, kamu dah hafal sebagian dari gerakannya, kan? Bagus. Kalau gitu, Kia kamu di samping Ray.”

Kia menoleh kaget ke arah Moz. “Aku depan? Tapi kan... aku sama sekali nggak bagus. Mending aku sama Gin aja gimana?

Gin menggeleng tegas. “Gini, Kia. Aku sih mau aja kalau kamu sama aku. Tapi kalau gitu, berarti kita ngubah gerakan. Itu justru bakal lama, kan? Jadi, kamu sama Ray aja. Oke? Nggak apa-apa kok. Ray itu anak yang baik sebenernya. Dia nggak bakal makan kamu.” Gin menghentikan perkataannya karena Ray melotot kepadanya.

Kia mengangguk. Latihan pun dimulai.

***

Hari yang mereka nanti akhirnya tiba. Dengan persiapan seadanya, mereka berangkat ke tempat audisi. Satu minggu adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mempelajari gerakan mereka. Satu minggu juga merupakan waktu yang cukup untuk membina persahabatan mereka. Terbukti setelah satu minggu ini, mereka bertambah dekat satu sama lain termasuk Ray yang mulai terbuka dengan Kia. Sekarang Ray sudah bisa tertawa seperti biasa di depan Kia. Ia pernah juga sampai menggenggam tangan Kia saat gadis itu hampir terjatuh.

“Untung kita berangkat pagi banget. Nggak sia-sia nih dapet giliran ke lima,” ujar Moz yang mendapat giliran untuk melakukan pendaftaran sedangkan anak lain memilih tempat untuk mereka duduk.

“Gue grogi nih...”

“Nggak boleh grogi. Kita kan nggak pertama ini ikut audisi,” tandas Moz pada Ray.

Kia mengangguk-angguk. “Moz bener, Ray. Aku aja nggak grogi kok. Padahal ini baru pertama kalinya aku ikut audisi lho!”

Ray menoleh kearah Kia. Ia teringat betapa hebatnya gerakan Kia. Tubuhnya sangat lentur. Namun saat melakukan gerakan robot, tubuhnya bisa terlihat sangat kaku. Hebat sekali. “Ki, lo–eh, kamu tau nggak? Gerakan lo-kamu itu bagus banget!” Ray masih sedikit sulit untuk mengubah cara bicaranya agar lebih sopan. Tapi sudah sejak lima hari lalu, ia masih saja sulit untuk mengubahnya karena pada Moz dan Gin pun ia masih menggunakan ‘lo-gue’.

Kia terkekeh, “Udah, lo-gue juga nggak apa-apa kok, Ray. Aku sih nggak masalah. Temen-temen sekolahku juga gitu kok. Gerakan? Bukannya gerakannya itu sama semua, ya? Cara gerak maksudmu?” pertanyaan Kia langsung Ray jawab dengan anggukan. “Bagus? Makasih deh..”

“Eh, audisinya udah mulai. Siap, kan?” ujar Gin memecah keheningan yang tadi sempat tercipta. Ketiganya mengangguk. Mereka lalu menunggu giliran mereka.

***

Tiga minggu kemudian...

Sejak audisi yang membuat mereka bangga akan diri mereka, Moz, Ray, Gin, dan Kia bekerjasama untuk audisi-audisi lain. Walaupun mereka hanya mendapat juara kedua, mereka sangat bahagia dan itu juga sempat melejitkan nama mereka. Akhir-akhir ini, mereka tak sempat latihan karena kesibukan masing-masing. Moz yang memang telah memasuki perguruan tinggi sedang fokus pada tugas-tugas yang diberikan dosen. Ray, Gin, dan Kia sedang menempuh ujian semesteran di sekolah mereka masing-masing. Namun Kia dan Gin sering bertemu untuk belajar bersama karena mereka seumuran. Sedangkan Ray tidak bisa bergabung dengan mereka berdua karena ia setahun lebih tua dari Kia dan Gin.

Hari ini, tes sudah selesai. Ray memutuskan untuk menemui Kia. “Kia, ketemuan yuk! Di taman, oke? Nanti kita ketemu disana. Jam 4. Gue tunggu.”

Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya Kia datang dengan penampilan yang berbeda dari biasanya. Ia mengenakan rok selutut dan kemeja pendek. Rambutnya ia gerai. Ia juga melepas kacamatanya. Sangat cantik.

“Sori. Lama, ya? Tadi kakak gue lambat banget nyupirnya. Sori ya?”

Ray tersenyum. “Nggak apa-apa. Gimana tes lo? Hasilnya pasti bagus, kan?” Ray basa-basi.

“Ada yang bagus, ada juga yang jeblok. Habis waktu itu aku lagi males ngerjain jadi aku malah cari gerakan dance. Hahaha... Oh ya, kenapa ngajakin ketemuan? Bukannya besok kita udah latihan bareng? Kan bisa besok ketemu.”

Bukannya menjawab pertanyaan Kia, Ray justru bertanya sesuatu yang tidak Kia duga. “Lo tau apa arti kata ‘A.Mi.Go’ yang kita pakai buat dance?” Ray memandang kolam di depannya.

“Tau. Jika kamu mencintai seseorang dari kecantikannya saja, maka kamu akan menderita. Ya, kan? Memang kenapa?”

“Sebelumnya gue nggak pernah mandang lo sebagai cewek seperti sekarang ini. Gue suka gadis yang cantik. Gue pernah punya seseorang, gue sayang dia. Dia cewek yang dipuja-puja di sekolah. Gue bener-bener bangga punya dia. She is very beautiful. Tapi, ketika gue lagi sayang banget sama dia, tiba-tiba dia mutusin gue. Gue ngerasa menderita banget!”

Kia sama sekali tidak mengerti akan arah pembicaraan Ray. “Ehm, tapi sekarang udah nggak, kan?” tanya Kia iseng. Soalnya dia nggak tau lagi mau tanya apaan.

“Ki, gue... Gue nggak akan tertipu lagi sama kecantikan orang-orang di luar sana. Karena sekarang gue udah punya orang yang cantik banget hatinya. Orang itu elo... Mau nggak lo jadi cewek gue?” Ray menatap Kia dengan teduh. Ia tahu gadis di hadapannya salting.

“Aku?” tanya Kia kikuk. “Ah, nggak mungkin.” Kia mengibaskan tangannya yang seketika itu di raih oleh Ray.

“Lo nggak percaya?”

Kia menggeleng seketika. “Nggak.”

Ray yang mendengarnya terperangah. Dasar nih anak ngomong asal njeplak aja. Ray kontan sedikit down karena kejujuran Kia. “Apa yang bisa gue lakuin biar lo percaya?”

“Nyemplung kolam. Bisa?” tantang Kia.

Ray berpikir sejenak, ia segera melepas sepatunya.

“Eh, aku becanda, Ray. Oke aku percaya. Aku jawab nantian aja ya biar kamu penasaran. Tapi kalau sekarang kamu bisa ngejar aku, bakal aku jawab saat itu juga.”

Melihat Kia berlari terbirit-birit, Ray tersadar dan mengejar Kia sampai ia dapat. Benar-benar cewek itu unik banget. Sepertinya saat ini dia nggak salah jatuh cinta dengan gadis pendiam tapi ternyata gila itu.

*endendend*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar